SD Negeri 4 Purwokerto Lor

SD Negeri 4 Purwokerto Lor
Pemberian Sodaqoh Menjelang Idul Fitri 1432 H

Rabu, 20 Juli 2011

Penggerak Wakaf

Restorasi zakat, terutama di negeri non-Muslim, merupakan langkah awal penting untuk mengendurkan jeratan negeri kafir atas warga negaranya. Dengan membangun kembali kepemimpinan lokal Islam yang sebenarnya, yang untuk pertama kalinya memberi kaum Muslim identitas politik mandiri dari struktur negara tempat mereka tinggal, dan memperkenalkan kembali koin dinar dan dirham yang akan membuka pintu kemandirian ekonomi dari sistem finansial ribawi dunia. Kaum Muslim akan mendapatkan ruang gerak hingga mampu menggunakan kekuatan mereka dan sepenuhnya menerapkan Deen Allah sekali lagi hingga keseimbangan dan keadilan bagi umat manusia dapat ditegakkan kembali.

Namun negara modern mengikat warganya tidak sekedar melalui kendali politik. Pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial menjadi tali pusat yang mengikat tiap individu warga kepada negara, dan dalam banyak kasus menimbulkan sepenuhnya ketergantungan terhadapnya, hingga kemandirian sejati seorang Muslim, yang merupakan kondisi dasar penegakan Islam, menjadi mustahil. Anda mendapatkan suatu paradoks ketika para aktivis Islam menadahkan tangannya untuk mendapatkan tunjangan, bergantung pada santunan dari negara, yang secara teoritis justru harus ia runtuhkan.

Di sinilah peran wakaf muncul ke permukaan. Dalam masyarakat Muslim yang berfungsi secara sehat, tidak satupun mekanisme kendali pemerintah ada di tangan negara. Dalam sepanjang sejarah Muslim semuanya ditangani oleh wakaf yang dibiayai swasta, yang sepenuhnya bebas dari kendali negara. Ini bukan soal romantisme atau menengok masa lampau; penelitian obyektif menunjukkan bahwa pendidikan, perawatan-kesehatan, kesejahteraan sosial, dan berbagai bidang lainnya yang saat ini semata-mata menjadi urusan pemerintah, dalam wilayah Dar al-Islam diurusi oleh wakaf sampai bahkan melewati abad ke-20, dengan efektivitas yang tak tertandingi di mana pun di dunia ini.

Dengan demikian, yang diperlukan sekarang adalah denasionalisasi harta-harta wakaf di tanah-tanah Muslim yang telah diambil alih dan dikendalikan oleh pemerintah, dan untuk kaum Muslim yang hidup di bawah kendali institusi pemerintahan kafir, pendirian kembali wakaf secara bertahap di berbagai kalangan komunitas Muslim hingga mereka dapat sepenuhnya membebaskan diri dari kendali struktur negara kafir yang saat ini memenjarakan mereka, membesarkan kecintaan kepada Allah dan Rasulullah, sallallahu ‘alayhi wa sallam, dalam hati mereka, dan menghalanginya untuk secara terbuka dan nyata menyatakan dalam kehidupan sehari-hari mereka melalui penerapan Deen Allah.

Dalam bahasa Arab, kata waqf secara literal berarti menahan atau membatasi. Dalam penggunaan legal ia bermakna pemilikan properti yang tak bisa diubah, yang memiliki nilai yang dapat dimanfaatkan, dan penggunaannya untuk tujuan sosial tertentu, untuk selamanya.

Merupakan konsensus dari berbagai madzhab mengenai validitas wakaf. Bukti-bukti tentang legitimasinya dapat diambil dari berbagai sumber.

•Ayat Al Qur’an di mana Allah berfirman, “Kamu tidak akan sampai pada ketaatan yang sebenarnya sampai kamu sedekahkan harta yang kamu cintai, “ (Ali Imran: 91), yang didengar oleh Abu Talhah, dan mendorongnya menyedekahkan kebun kebanggaannya sebagai wakaf. Tindakan ini direstui Rasul, SAW, dan merupakan salah satu contoh paling awal penyerahan sebidang tanah sebagai wakaf.

• Bukti nyata dalam hadis, yang menyebutkan “Pahala seseorang akan terputus kecuali dari tiga hal: sedekah jariah, pengetahuan yang berguna, dan anak yang soleh.” Sedekah jariah secara umum merujuk kepada wakaf.

• Teladan dari Umar bin Khatab yang menyerahkan tanahnya di Khaybar sebagai wakaf, sesuai anjuran Rasul, sallallahu alayhi wa sallam, ditambah sejumlah Wakaf lain yang diberikan oleh para Sahabat.

Ada sejumlah peristiwa tercatat penyerahan Wakaf oleh Abu Bakr as-Siddiq, ‘Umar ibn al-Khattab, ‘Uthman and Ali ibn Abi Talib, juga Zubayr, Mu’adh ibn Jabal, Zayd ibn Thabit, Sa’d ibn Abi Waqqas, Khalid ibn al-Walid, Jabir ibn ‘Abdullah, dan Abdullah ibn Zubayr, semoga Allah meridhoi mereka semua.

1. Tujuan Wakaf
Tujuan wakaf adalah untuk membuka pintu seluas-luasnya bagi kebaikan dan minat untuk kepentingan umum, pada saat yang sama memungkinkan pihak pemberi wakaf bertindak semata-mata atas dasar pengabdian kepada Allah dan mendapatkan pahala atasnya.

Secara tradisional, semua keuangan untuk fasilitas sosial yang terkait dengan ibadah, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, pemeliharaan orang miskin, dan kaum papa disediakan dari wakaf, hingga mandiri dari pemerintah dan aman dari kemungkinan eksploitasi oleh pihak swasta. Wakaf juga menyediakan sarana hidup yang aman bagi guru, para ahli, dokter, dan pengelola, hingga mampu berkarya dengan sepenuhnya. Hasilnya kegiatan budaya, pendidikan, dan keilmuan berkembang subur.

2. Jenis Wakaf
Menurut tradisi ada dua jenis wakaf:
•Jenis pertama diperuntukkan bagi kepentingan umum secara luas, kesejahteraan kaum miskin, fasilitas publik seperti masjid, sekolah, akademi, rumah sakit dan klinik, panti yatim-piatu, dan sebagainya. Ini terdiri atas dua bagian: lembaga itu sendiri dan properti pendukung secukupnya atau tanah untuk menghasilkan pendapatan yang cukup untuk membiayainya secara permanen.

• Jenis kedua adalah dana abadi untuk individu, keluarga, keturunan, dan kerabat
seseorang (termasuk dari pihak yang me-wakafkannya sendiri)

Keduanya sah dan berada di dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh Syari’at.

3. Peran Sosial Wakaf
Secara tradisional, wakaf berperan sangat penting dalam kerangka sosial masyarakat Muslim yang sehat. Karena bebas dari kendali, baik negara maupun kepentingan perusahaan bisnis, wakaf memberikan dasar yang aman dan stabil bagi masyarakat. Keluarga-keluarga terjamin, kaum papa dan miskin terpelihara, sekolah, klinik dan rumah sakit, madrasah, masjid, penginapan, dikelola dan dibiayai dengan sistem wakaf. Pendanaan program-program sosial tidak bergantung pada keuangan pemerintah – dan karenanya pajak rakyat – ataupun dari kutipan bayaran anggota masyarakat yang menggunakannya. Karena itu, stabilitas wakaf tidak akan tergoyahkan oleh perubahan pemerintahan atau perubahan nilai properti atau variabel lain sejenisnya. Harta ini berada di luar dunia spekulasi real estate.

Wakaf juga menyumbangkan secara signifikan pertumbuhan budaya dan intelektual, dengan membebaskan mereka yang terlibat dalam kegiatan ini dari keharusan ‘mencari nafkah.’ Para guru, pelajar, peneliti, pengelolanya, semuanya dibiayai dari dana wakaf, hingga mampu melaksanakan karya dengan sepenuhnya. Wakaf juga berperan positif dalam menegakkan keadilan sosial karena mendorong mereka yang kaya untuk mendirikan wakaf yang akan menjamin kaum miskin. Penyerahan secara sukarela properti pertanian dan perkotaan akan sangat menolong memperkecil jurang kaya-miskin sebagaimana lazim terjadi di kota-kota besar saat ini.

Pembangunan langkah penting pertama dalam restorasi zakat, yang sekali lagi akan menopang deen Allah pada landasan yang kokoh, pendirian kembali institusi wakaf, dan penegakkan kembali praktek dagang yang benar akan memungkinkan kaum Muslim zaman ini mendapatkan kepastian sebagaimana umat Nabi Nuh, alayhi salam, mendapatkan kapal. Ketika gelembung riba meletus, yang sudah pasti akan terjadi, ketika air bah melanda, dan banjir akan menenggelamkan dunia, kita akan dapat terus mengapung dan ketika air bah surut, dengan Deen Allah, siap untuk memulai kembali kehidupan manusia baru sehingga Kitab Allah, Al Qur’an dan sunnah Rasul-Nya, sallallahu ‘alayhi wa sallam akan mendapatkan tempat yang benar dalam menyelesaikan semua urusan manusia.

sumber

---------- Post added at 10:11 ---------- Previous post was at 10:10 ----------

Wakaf Produktif Untuk Kesejahteraan Umat

Dalam Islam, wakaf merupakan ibadah sosial yang mempunyai nilai ekonomi yang sangat penting bagi kesejahteraan Ummat Islam, hal itu dapat dilihat dalam sepanjang sejarah peradaban ummat Islam.

Indonesia termasuk negara muslim yang banyak memiliki tanah waqaf. Menurut data Departemen Agama (sampai dengan September 2005) jumlah seluruh tanah wakaf di Indonesia sebanyak 358.791 dengan luas 818.742.341,86 M. Namun waqaf sebanyak itu belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan ummat Islam yang mayoritas di negeri ini. Ada tiga factor yang menjadi kendala selama ini :

1. Minimnya pemahaman ummat Islam terhadap pengertian waqaf itu sendiri, sehingga pemanfaatan waqaf hanya dipergunakan untuk sarana-sarana ibadah seperti Masjid, Mushalla, dan makam.

2. Kurangnya peran Ulama’ dan Du’at dalam sosialisasi pemanfaatan waqaf untuk peningkatan sosial ekonomi ummat.

3. Kuatnya dominasi penguasa yang menganut sekularisme dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakannya.

Wakaf memiliki manfaat yang luar biasa, sebab wakaf mempunyai nilai tetap, sehingga tidak boleh dijual, diwariskan, atau dihibahkan. Hal ini dimaksudkan agar wakaf dapat dimanfaatkan terus menerus untuk kemaslahatan ummat. Idealnya, bersama dengan zakat, wakaf dapat menjadi instrumen penting dalam pengentasan kemiskinan.
Telah banyak penelitian historis yang dilakukan oleh para pakar tentang fungsi wakaf dalam berbagai sektor kehidupan umat. Michael Dumper juga menyimpulkan bahwa di Timur Tengah, pada masa kalsik Islam dan pertengahan, institusi wakaf telah memainkan peran yang sangat penting dalam sejarah kaum muslimin dalam membangun kesejahteraan rakyat.Penelitian lain dilakukan oleh R.D McChesney (1991) yang telah menulis buku sebagai hasil penelitiannya tentang Kegiatan Wakaf di Asia Tengah selama lebih kurang 400 tahun. Dalam deskripsi bukunya disebutkan bahwa wakaf dalam rentang waktu yang cukup lama telah berada pada pusat paling penting dari kehidupan umat Islam sehari-hari, membangun lembaga-lembaga keagamaan, cultural dan kesejahteraan.

Wakaf juga menjadi sarana yang sah untuk menjaga keutuhan kekayaan keluarga dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan penelitian ini menunjukkan betapa pentingnya peran lembaga wakaf dalam kehidupan masyarakat muslim, dan ini berfluktuasi sejalan dengan sikap penguasa Islam pada masa itu. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Timur Kuran menyebutkan bahwa wakaf telah muncul sebagai sarana komitmen yang dapat dipercaya untuk memberikan keamanan bagi para pemilik harta sebagai imbangan dari layanan sosial. Penelitian ini memberikan hasil bahwa wakaf telah lama berfungsi sebagai instrumen penting untuk memberikan public goods dengan cara yang tidak sentralistik. Pada prinsipnya manajer (nazhir) wakaf harus mematuhi persyaratan yang digariskan oleh pemberi wakaf (wakif). Dalam praktiknya tujuan atau arahan waqif seringkali harus disesuaikan dengan berbagai faktor yang berkembang dalam masyarakat. (Kuran, 2001)

Beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa selama ratusan tahun bahkan lebih dari seribuan tahun, institusi wakaf telah berhasil menjadi instrumen yang penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat muslim, baik pendidikan, layanan sosial, ekonomi, keagamaan dan layanan publik lainnya. Keberadaan wakaf dan perannya yang demikian besar, seringkali mengkhawatirkan penguasa pemerintahan Barat atau penguasa sekular. Kekhawatiran akan semakin menonjolnya peran masyarakat dengan institusi wakaf, melahirkan sejumlah pandangan negatif terhadap sistem wakaf dari para penguasa, karena wewenang pemerintah bisa disaingi atau malah dikalahkan oleh lembaga-lembaga wakaf. Contohnya antara lain, ketika bala tentara Perancis menduduki Al-jazair pada 1831, penguasa kolonial menguasai dan mengawasi harta wakaf untuk menekan tokoh-tokoh keagamaan yang berjuang melawan penjajahan (Abu al-Afjan, 1985:325). Dalam berbagai penelitian lainnya tentang sejarah wakaf disebutkan, bahwa sepanjang sejarah Islam, wakaf telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pembangunan masyarakat, di antaranya:

1. Hampir 75% seluruh lahan yang dapat ditanami di Daulah Khilafah Turki Usmani merupakan tanah wakaf

2. Setengah (50 %) dari lahan di Aljazair, pada masa penjajahan Perancis pada pertengahan abad ke 19 merupakan tanah wakaf

3. Pada periode yang sama, 33 % Tanah di Tunisia merupakan tanah wakaf

4. Di Mesir sampai dengan tahun 1949, 12,5 persen lahan pertanian adalah tanah wakaf

5. Pada Tahun 1930 di Iran, sekitar 30 persen dari lahan yang ditanami adalah lahan wakaf.

Sebuah penelitian yang meliputi 104 yayasan Wakaf di Mesir, Suriahm Turki, Palestina dan Anatoly land, menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 1340-1947, bagian terbesar dari asset wakaf adalah dalam bentuk real estate, yaitu mencapai 93 % denga rincian sebagai berikut :

1. 58 % dari wakaf, terkonsentrasi di kota-kota besar yang terdiri dari toko, rumah dan gedung.

2. 35 % dari wakaf terdapat di desa-desa yanag terdiri dari lahan pertanian, perkebunan dan tanaman lainnya.

3. 7 % sisanya merupakan dalam bentuk uang (wakaf tunai). Namun informasi terkini berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Departemen Agama, perolehan wakaf tunai di Timur Tengah mencapai 20 persen. Menurut Ridwan El-Sayed, wakaf dalam bentuk uang tunai dan dalam bentuk penyertaan saham telah dikenal pada zaman Bani Mamluk dan Turki Usmani dan saat ini telah diterima luas di Turki modern , Mesir, India, Pakistan, Iran, Singapura dan banyak negara lainnya.

Penutup
Indonesia saat ini mulai mengembangkan waqaf produktif, walaupun dampaknya belum terlihat karena masih tahap permulaan. Undang-Undang Waqaf dan PP Waqaf telah dikeluarkan oleh pemerintah. Badan Waqaf Indonesia (BWI) juga mulai dibentuk pemerintah. Dengan dukungan pemerintah tersebut diharapkan gerakan waqaf produktif dapat membuahkan hasil secara bertahap untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan umat Islam Indonesia yang sekian lama terpuruk dalam keterbelakangan dan kebodohan.

sumber:http://myquran.com/forum/showthread.php/21087-Wakaf-Produktif-Untuk-Kesejahteraan-Umat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar