SD Negeri 4 Purwokerto Lor

SD Negeri 4 Purwokerto Lor
Pemberian Sodaqoh Menjelang Idul Fitri 1432 H

Rabu, 20 Juli 2011

Model Pengelolaan Wakaf Produktif

  1. Model Institusi Pengelolaan Wakaf Yang Efektif Untuk Kasus Indonesia
Penerimaan wakaf berdasarkan literatur sejarah dilakukan oleh institusi Baitul Mal. Baitul Mal merupakan institusi dominan dalam sebuah pemerintahan Islam ketika itu. Baitul Mal-lah yang berperan secara konkrit menjalankan program-program pembangunan melalui divisi-divisi kerja yang ada dalam lembaga ini, disamping tugas utamanya sebagai bendahara negara (treasury house).
Dengan karakteristiknya yang khas, wakaf memerlukan manajemen tersendiri dalam lembaga Baitul Mal. Baitul Mal harus menjaga eksistensi harta wakaf dan keselarasannya dengan niat wakaf dari wakif. Sehingga dalam konteks perekonomian kontemporer yang tidak (belum) menjadikan Baitul Mal sebagai institusi negara khususnya di indonesia, diperlukan modifikasi institusi dalam pengelolaan wakaf profesional –produktif yang menggelola aset wakaf tidak saja wakaf fixed asset tapi juga cash waqf ini.
Karena terdapat kebebasan memberikan jumlah wakaf tunai (cash waqf), institusi wakaf dapat membatasi alternatif tujuan wakaf dari masyarakat (pos penerimaan sekaligus penggunaan uang wakaf), agar dapat optimal pemanfaatan wakaf tunai tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan terlalu sedikitnya wakaf tunai yang terkumpul dalam rangka memenuhi niat akad dari para wakif. Jadi pos wakaf tunai dibatasi sesuai dengan program kebutuhan masyarakat luas seperti pos pendidikan (misalnya peruntukan gedung sekolah, gedung dakwah, dan lain-lain), pos masjid dan pos fasilitas umum (misalnya peruntukan jalan raya, jembatan, dan lain-lain). Banyaknya pos tergantung pada banyaknya keinginan masyarakat dalam mewakafkan hartanya pada maksud tertentu.
Namun, pada wakaf yang mutlak, artinya tidak ditentukan tujuan dari pemberian wakaf secara spesifik oleh wakif, maka kebijakan institusi wakaflah yang berperan dalam hal keputusan penggunaannya, tentu saja mempertimbangkan skala prioritas kebutuhan masyarakat. Pada wakaf tunai yang memiliki definisi dan aplikasi seperti yang dilakukan oleh Prof. M.A. Mannan, sebaiknya memang menjadi kesepakatan para ulama berikut intelektual agar aplikasinya tidak menemui hambatan-hambatan yang kemudian mengganggu jalannya perekonomian secara keseluruhan.
Untuk konteks Indonesia, lembaga wakaf yang secara khusus akan mengelola wakaf dalam bentuk fixed asset dan cash waqf dan beroperasi secara nasional itu berupa Badan Wakaf Indonesia (BWI). Tugas dari lembaga ini adalah mengkoordinir nazhir-nazhir (membina) yang sudah ada dan atau mengelola secara mandiri terhadap harta wakaf yang dipercayakan kepadanya, khususnya wakaf tunai.
Sedangkan, wakaf yang ada dan sudah berjalan di tengah-tengah masyarakat dalam bentuk wakaf benda tidak bergerak (fixed Asset), maka terhadap wakaf dalam bentuk itu perlu dilakukan pengamanan dan dalam hal benda wakaf yang mempunyai nilai produktif perlu di dorong untuk dilakukan pengelolaan yang bersifat produktif. Hasil dari pengembangan wakaf yang dikelola secara profesional dan amanah oleh lembaga-lembaga kenazhiran dan BWI sendiri kemudian dipergunakan secara optimal untuk keperluan sosial, seperti untuk meningkatkan pendidikan Islam, pengembangan rumah sakit Islam, bantuan pemberdayaan ekonomi umat dan bantuan atau pengembangan sarana prasarana ibadah.
Untuk itulah Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang mempunyai fungsi sangat strategis harus segera dibentuk dan diharapkan dapat membantu, baik dalam pembiayaan, pembinaan maupun pengawasan terhadap para nazhir untuk dapat melakukan pengelolaan wakaf secara produktif. Pembentukan BWI bertujuan untuk menyelenggarakan administrasi pengelolaan secara nasional, mengelola sendiri harta wakaf yang dipercayakan kepadanya, khususnya yang berkaitan dengan tanah wakaf produktif strategis khususnya benda wakaf terlantar dan internasional dan promosi program yang diadakan oleh BWI dalam rangka sosialisasi kepada umat Islam dan umat lain pada umumnya. BWI ini sebaiknya profesional­ independen dan pemerintah dalam hal ini hanya sebagai fasilitator, motivator dan regulator.
Pola organisasi dan kelembagaan BWI harus merespon terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Di tingkat masyarakat, persoalan yang paling mendasar adalah kemiskinan, baik dalam arti khusus, yaitu seperti yang dicerminkan dengan tingkat pendapatan masyarakat, maupun dalam arti luas, yang mencakup aspek kesehatan, pendidikan atau pemenuhan hak-hak asasi manusia pada umumnya. Persoalan-persoalan tersebut juga bisa disebut sebagai persoalan umat Islam juga. Tapi dari sudut organisasi-organisasi Islam, persoalan-persoalan itu menjadi tanggung jawab gerakan Islam juga. Tapi dari sudut misi organisasi, persoalan itu menjadi tanggung jawab gerakan Islam. Oleh sebab itu, organisasi-organisasi Islam berkepentingan juga untuk mengakses sumber daya wakaf.
Untuk mengatasi masalah-masalah sosial, wakaf merupakan sumber dana yang cukup potensial. Selama ini, program pengentasan masyarakat dari kemiskinan bergantung dari bantuan kredit dari luar negeri, terutama dari Bank Dunia. Tapi dana itu terbatas dari segi jumlah maupun waktu. Dalam hal ini pengembangan tanah wakaf produktif strategis dapat menjadi alternatif sumber pendanaan dalam pemberdayaan ekonomi umat secara umum. Di Qatar dan Kuwait, dana yang dihasilkan dari wakaf, bersama-sama dengan sumber lain, khususnya zakat, dana wakaf yang di peroleh dari pengusahaan tanah wakaf, misalnya di bidang real estate atau pendirian gedung­gedung perkantoran yang disewakan atau dikelola sendiri, dipakai untuk membiayai program kemiskinan, baik langsung oleh pemerintah maupun disalurkan lewat LSM.
Benda-benda wakaf produktif bisa dikerjakan secara kolektif, tapi bisa pula dikerjasamakan dengan pihak swasta profesional, baik dalam maupun luar negeri. Proyek-proyek yang dikerjakan bisa berupa pertanian padi sawah atau palawija, sehingga bisa menghasilkan cadangan pangan dan lumbung bibit, pertenakan perikanan dan perkebunan. Model ini merupakan analogi dari wakaf ahli, dimana wakif memberikan wasiat agar hasil pengelolaan wakaf dapat dipakai untuk menyantuni anggota keluarga yang kekurangan atau membutuhkan dana. Dalam model ini anggota keluarga besar seseorang diperluas menjadi warga desa, sehingga setiap bagian warga desa yang mengalami kemiskinan dan kesulitan lain seperti kesehatan dan pendidikan, dapat disantuni dari dana hasil pengelolaan wakaf tersebut. Model ini dapat diterapkan secara nasional. Karena itu untuk merespon model ini, lembaga nazhir bisa didirikan di setiap desa.
Untuk menjalankan semua rencana praktis di atas, maka peran BWI sebagai lembaga pengelola harta (dana tunai) wakaf secara nasional, diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang benar-benar mempunyai kemampuan dan kemauan dalam mengelola wakaf, berdedikasi tinggi dan memiliki komitmen dalam pengembangan wakaf serta memahami masalah wakaf serta hal-hal yang terkait dengan wakaf. Organisasi badan wakaf ini sebaiknya ramping dan solid dan anggotanya harus terdiri dari para ahli dari berbagai disiplin ilmu yang ada kaitannya dengan pengembangan wakaf produktif, seperti: ahli hukum pidana dan perdata baik nasional maupun internasional, ulama hukum Islam (fikih wakaf, ushul fikih), ulama ahli tafsir, ekonom, praktisi bisnis, arsitektur, penyandang dana, sosiolog, ahli perbankan Syari’ah, dan cendekiawan lain yang memiliki perhatian terhadap perwakafan secara umum.
Model Pengelolaan Wakaf Fix Asset Yang Optimal Untuk Mensejahterakan Rakyat
Wakaf asset tetap (fixed asset) yang paling dominan di Indonesia adalah dalam bentuk tanah berikut ini penulis ajukan usulan bagaiman pengelolaannya terutama untuk tanah-tanah wakaf produktif strategis.
Tanah-tanah wakaf produktif strategis yang sudah diinventarisir oleh Departeman Agama RI yang meliputi seluruh propinsi di Indonesia dapat diberdayakan secara maksimal dalam Bentuk:
a) Asset wakaf yang menghasilkan produk barang atau jasa.
Secara teoritis, Islam mengakui bahwa tanah (semua unsur tanah, termasuk tanah wakaf produktif strategis) sebagai faktor produksi. Dalam hazanah pemikiran klasik yang masih relevan dengan masa sekarang ini, bahwa tanah yang dianggap sebagai suatu faktor produksi penting mencakup semua sumber daya alam yang digunakan dalam proses produksi, seperti permukaan bumi, kesuburan tanah, sifat-sifat sumber daya udara, air mineral dan sebagainya. Baik al-Quran maupun as-Sunnah banyak, memberikan tekanan pada pentingnya pemberdayaan tanah secara baik. Al-Quran sangat menganjurkan agar tanah yang kosong dikelola secara produktif (ahya’ al-amwat).
Oleh karena itu, tanah wakaf yang dianggap strategis harus dikelola secara produktif dalam rangka meningkatkan nilai wakaf untuk kesejah­teraan umat. Bentuk pengelolaannya diwujudkan dalam bentuk-bentuk usaha pengembangan dan pemberdayaan yang dapat menghasilkan untung, baik melalui produk barang atau jasa. Tentu saja pemilihan produk-­produk yang akan dikelola harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
· Produk barang atau jasa yang ditawarkan harus benar-benar unik (memiliki kelebihan) yang mampu memberikan keunggulan komparatif dengan produk sejenis yang sudah ada di pasaran atau lapangan.
· Memastikan bahwa konsumen potensial adalah (1) mereka yang benar-benar membutuhkan produk barang atau jasa tersebut sesuai dengan karakterisitik dan fungsi yang dimiliki, (2) mereka yang memiliki daya beli atau dana yang cukup, (3) mereka yang mempunyai wewenang atau kekuasaan yang memungkinnya mengambil keputusan untuk membeli.
· Memastikan posisi konsumen potensial dengan menjawab pertanyaan berikut ini­(a) siapakah konsumen target terbaik lembaga ini? (b) dimanakah kategori persaingan produk lembaga ini ? (c) Apakah keuntungan utama yang diperoleh calon konsumen target lembaga dari produk barang atau jasa ?
Pola pengelolaan tanah wakaf strategis melalui usaha-usaha produktif bisa dilakukan sebagai­mana di atas jika nazhir wakaf memiliki dana yang cukup untuk membiayai operasional usaha. Sementara pada umumnya, para wakif yang menyerahkan tanah kepada nazhir tidak disertai dengan unsur pembiayaan usaha yang dimaksud. Memang ini menjadi kendala yang cukup serius ketika tanah-tanah tersebut akan dikelola secara produktif. Kalaulah misalnya sebagian tanah wakaf dijual dan dana hasil penjualannya untuk pembiayaan usaha, maka secara otomatis akan mengurangi nilai wakaf dalam tataran nominal pemberian awalnya dan hal ini masih menjadi kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Dengan kondisi seperti ini, maka diperlukan pihak ketiga yang mau bekerjasama dengan nazhir-nazhir yang ada bersama dengan lembaga penjamin. Lembaga penjamin ini sangat dibutuhkan ketika prospek usahanya ternyata mengalami kerugian yang sangat tidak diharapkan dalam pengelolaan wakaf. Sedangkan harta yang telah diwakafkan mempunyai sifat abadi yang tidak boleh kurang.
b) Aset wakaf yang berbentuk investasi usaha.
Asset wakaf ini adalah kekayaan lembaga nazhir hasil pengelolaan usaha produk barang atau jasa yang suskses untuk kemudian dikembangkan melalui investasi kepada pihak ketiga atau lembaga nazhir wakaf yang lain:
· Akad Musyarakah: Akad ini merupakan bentuk partiaipasi usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih (termasuk nazhir wakafl dalam suatu usaha tertentu dangan menyertakan sejumlah modal dengan pembagian keuntungan sesuai kesepakatan bersama. Apabila terjadi kerugian, masing•masing harus menanggung sesuai batas (kadar) modal yang ditanamkan. Pihak•pihak yang terlibat dalam akad tersebut mempunyai hak untuk ikut serta, mewakilkan atau membatalkan haknya dalam pengelolaan (manajemen) usaha tersebut. Modal yang diserahkan dalam akad musyarakah ini dapat berupa uang atau harta benda yang dapat dinilai dengan uang.
· Akad Mudlarabah: Yaitu suatu akad (kontrak) yang memuat penyerahan modal khusus atau semakna dengan jumlah, jenis, dan karakter (sifat) dari orang yang diperbolehkan mengelola harta kepada orang lain yang aqil (berakal), mumayyiz (dewasa) dan bijaksana yang ia pergunakan untuk berusaha (produk atau jasa) dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya menurut nisbah pembagiannya dalam kesepakatan. Dari pengertian tersebut, maka modal usaha dalam akad mudlarabah sepenuhnya berasal dari pemilik modal (shohibul mal). Selain itu pemilik modal tidak terlibat dalam manajemen usaha. Adapun, keuntungan dibagi menurut nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Manakala terjadi kerugian, yang menaggung adalah pemilik modal. Pihak pengelola tidak menanggung rugi secara materi, tetapi cukuplah ia menanggung kerugian tenaga dan waktu yang dikeluarkan selama menjalankan usaha, selain tidak mendapatkan keuntungan.
Berikut ini usulan pengembangan asset wakaf.
Kategori Tanah
Jenis Lokasi Tanah
Jenis Usaha
Pedesaan
Tanah Persawahan
Pertanian
Tambak ikan

Tanah Perkebunan
Perkebunan
Home industri
Tempat Wisata
DII. -

Tanah Ladang
Atau Padang Rumput
w Palawija
m Real estate
Pertamanan
Home industri
DII.

Tanah Rawa
Perikanan
Tanam Sayuran

Tanah Perbukitan
Tempat Wisata
Perkebunan
Bangunan
Home industri
Penyulingan air
mineral
Dll
Perkotaan
Tanah Pinggir Jln.
Raya
Dekat Ialan Pro-tokol
Perkantoran
Pusat Perbelanjaan
Apartemen
Hotel/Penginapan
Gedung Pertemuan
DII

Dekat 7alan Utama
Perkantoran
Pertokoan
Pusat Perbelanjaan
Rumah Sakit
Rumah Makan
Sarana Pendidikan
HotelJPenginapan
Apartemen
Gedung Pertemuan
Pom Bensin
Apotek
WartellWarnet
Bengkel Mobil
DR.

Dekat Jalan Tol
w Pom Bensin
Beogkel
Rumaih Makan
Outlet
Waning ‘
Wartel
Dll

Tanah Dekat/di Da-
lam Perumahan
Sarana Pendidikan
Klinik
Apotek
Outlet
Warung
Catering
BMT
Dll

Tanah Dekat Kera-
maian (Pasar, Tertni-
nal, Stasiun, Sekolah
Umum dll.)
Pertokoan
Rumah Makan
s Bengkel
~ BPRS/BMT
Warung
Wartel/Warnet
Klinik
Jasa Penitipan
Dll
Tepi Pantai
Pinggir Laut
Tambak Ikan
Obyek Wisata
Hl Kerajinan
Dll

Rawa Bakau
Perkebunan
Catatan :
· Jenis-jenis usaha di perkotaan sebaiknya digambar oleh arsitektur muslim profesional dimana di dalamnya harus jelas tergambar indah dan kokoh dengan cerminan bangunan yang islami. Di dalamnya harus disediakan tempat-tempat ibadah, seperti masjid, musholla dengan space yang proporsional.
· Sasaran pemberdayaan dan optimalisasi tanah wakaf strategis ada 2, yaitu :1) Milik lembaga-lembaga wakaf yang sudah ada; (2) Milik lembaga nadzir kelompok perorangan
Semua hasil usaha, baik yang didapatkan melalui pengelolaan produk barang/jasa atau melalui keuntungan dengan cara berinvestasi kepada pihak ketiga sesuai sistem Syari’ah yang dijalankan, adalah untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak. Yaitu berbentuk dua asset wakaf : pertama, asset yang dapat langsung dikonsumsi dan dimanfaatkan oleh masyarakat, seperti : untuk membiayai pengelolaan, pengembangan dan pembinaan sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan lain-lain yang bertujuan melayani urusan kemanusiaan clan kebajikan umum. Kedua, asset wakaf yang berbentuk investasi SDM dan kebudayaan dalam jangka panjang, yaitu diperuntukkan pengembangan bidang pendidikan, pelayanan kebudayaan seperti beasiswa, perpustakaan, kajian iptek, keagamaan, pengembangan bidang kesehatan seperti : pelayanan kesehatan masyarakat kurang mampu, pelayanan rumah sakit, dokter dan obat-obatan.
4.3. Model Pengelolaan Cash Wakaf yang Optimal Untuk Mensejahterakan Rakyat
Substansi wakaf tunai sebenarnya telah lama muncul, bahkan dalam kajian fiqih klasik sekalipun seiring dengan munculnya ide revitalisasi fiqih mu’amalah dalam perspektif maqashid as-syari’ah (filosofi dan tujuan Syariat) yang dalam pandangan Umar Capra (1992) bermuara pada al-mashlahah al-mursalah (kemaslahatan universal) termasuk upaya mewujudkan kesejahteraan sosial melalui keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan.
Isyu kesejahteraan sosial yang diusulkan oleh wacana wakaf tunai memunculkan akar dan substansi masalah sosial berupa keadilan ekonomi yang ternyata gagal dimanivestasikan sistem sosialis maupun kapitalis. Sungguhpun dalam kajian utopian dunia Barat berusaha mengkongkritkan cita-cita keadilan sosial, namun dalam format operasional pada tataran implementasinya tetap terjadi kerancuan.
Kemandulan yang dihasilkan elaborasi teori dan praktek yang dilakukan filsuf sosial Amerika, John Rawls, dalam bukunya The Theory of Justice (1971) yang ditanggapi oleh Robert Nozik dalam bukunya Anarchy, State and Utopia (1974) telah menjadi contoh yang mempresentasikan kegagalan teori keadilan perspektif Barat dalam tataran implementasi histories.
Sayyid Quthb (1964) pemikir Islam dari Mesir dengan gaya pendekatan yang komprehensif dalam bukunya al­‘Adalah al-Ijtima’iyyah fil Islam berhasil memformulasikan teori keadilan sosial dalam Islam dan instrumenpendukungnya, termasuk wakaf, bukan sebatas teori utopis belaka melainkan kajiannya berangkat dari fakta sejarah peradaban Islam otentik. Setelah mengupas pandangan Islam mengenai kasih sayang, kebajikan, keadilan dan jaminan sosial yang menyeluruh antara orang yang mampu dan yang tidak mampu, antara kelompok yang kaya dengan yang miskin, antara individu dan masyarakat, antara pemerintah dan rakyat, bahkan antara segenap umat manusia, Quthb selalu membeberkan fakta historis bagaimana konsep tersebut membumi dalam perjalanan kesejarahan generasi terbaik Islam.
Sebagai contoh, Quthb mengisahkan sepenggal cerita sejarah solidaritas kalangan sahabat ; Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Diantara implementasi keadilan sosial melalui prakarsa wakaf tanah dalam pengalaman kesejarahan awal Islam telah dibuktikan Umar bin Khathab sebagai warga sederhana yang bersedia secara ikhlas atas petunjuk Nabi saw untuk mewakafkan satu-satunya aset berharga yang dimilikinya berupa sebidang tanah di Khaibar untuk kemaslahatan umat. Dengan menukil pendapat Gibb untuk mendukung kritik sosialnya, Quthb menawarkan sebuah tantangan bagi umat Islam untuk mengulang pengalaman sejarah dalam mewujudkan kembali cita-cita keadilan sosial dengan modal populasi umat yang begitu besar di wilayah Afrika, Pakistan dan Indonesia yang menurutnya sangat potensial untuk memberi kontribusi signifikan bagi kesejahteraan sosial yang luas.
Setelah sukses dengan mendapatkan sambutan luas terhadap buku Towards a Jaust Monetary Sistem (1985) yang diluncurkannya untuk mengkampanyekan format keadilan ekonomi melalui pendekatan sistemik di bidang moneter, Chapra dalam bukunya Islam and the Economic Challenge (1992) menawarkan resep rekontruks kesejahteraan sosial melalui paket rekontruksi ekonomi berupa; pola mengubah preferensi konsumen dengan filter moral, reformasi keuangan public yang disiplin, meningkatkan iklim investasi yang bebas rintangan, merancang kembali pola dan prioritas produksi, mengatasi pengangguran dan lapangan pekerjaan.
Gagasan wakaf tunai yang dipopulerkan melalui pembentukan Sosial Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh yang dikemas dalam mekanisme instrument Cash Waqf Certificate telah memberikan kombinasi alternative solusi mengatasi krisis kesejahteraan yang ditawarkan Chapra. Model Wakaf Tunai adalah sangat tepat memberikan jawaban yang menjanjikan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial dan membantu mengatasi krisis ekonomi Indonesia
Oleh karena itu sangat tepat bila penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan produktif ke sektor riil dimobilisir yang salah satunya adalah dengan memberikan kredit mikro melalui mekanisme kontrak investasi kolektif (KIK) semacam reksadana Syariah yang dihimpun Sertifikat Wakaf Tunai (SWT) kepada masyarakat menengah dan kecil agar memiliki peluang usaha dan sedikit demi sedikit bangkit dari kemiskinan dan keterpurukan akibat krisis berkepanjangan. Pemberian skim kredit mikro ini cukup mendidik ibarat memberi kail bukan hanya ikan kepada rakyat dan diharapkan dapat menciptakan kemandirian. Porsi bagi hasil untuk fund manager setelah dikurangi biaya operasional dapat disalurkan untuk kebutuhan konsumtif dalam menunjang kesejahteraan kaum fuqara (miskin) melalui wasiat wakif (pemegang SWT) ataupun tanpa wasiatnya. Dalam perkembangan kekinian di Indonesia, wacana wakaf tunai telah menjelma nyata dalam implementasi produk-produk funding lembaga keuangan Syariah dan Lembaga Amil Zakat seperti Wakaf Tunai Dompet Dhuafa Republika dan Waqtumu (Wakaf Tunai Muamalat) yang diluncurkan Baitul Mal Muamalat-BMI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar