SD Negeri 4 Purwokerto Lor

SD Negeri 4 Purwokerto Lor
Pemberian Sodaqoh Menjelang Idul Fitri 1432 H

Selasa, 19 Juli 2011

Manajemen Efektif Dana Wakaf Produktif

A. LATAR BELAKANG
Krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia secara faktual telah
melipatgandakan jumlah penduduk miskin dari ± 25 juta jiwa di akhir tahun 1997 menjadi ±
100 juta jiwa di tahun 1999. Berbagai cara dilakukan untuk mengatasi masalah ini antara lain
melalui JPS (Jaringan Pengaman Sosial) serta berbagai sumbangan dari dalam dan luar
negeri. Pemerintah sendiri tampaknya cukup kesulitan untuk mengatasi masalah ini
mengingat terbatasnya dana yang tersedia dalam APBN. Selain itu mengingat Pinjaman Luar
Negeri (PLN) Indonesia yang sangat besar, maka alternatif PLN untuk mengatasi masalah
menjadi kurang dipertimbangkan.
Salah satu alternatif yang masih memiliki harapan untuk mengatasi masalah ini
adalah adanya partisipasi aktif dari pihak non pemerintah, yang dalam hal ini adalah
masyarakat. Masyarakat, khususnya golongan kaya, memiliki kemampuan untuk membantu
meringankan penderitaan masyarakat miskin. Apabila potensi masyarakat (kaya) ini dapat
dikoordinasikan serta dikelola dengan baik, maka hal ini dapat memberikan alternatif
kontribusi penyelesaian positif atas masalah kemiskinan tersebut di atas. Di Bangladesh,
upaya non pemerintah untuk menjawab masalah kemiskinan telah dicoba dijawab melalui
keberadaan lembaga yang bernama Social Investment Bank Limited (SIBL). Lembaga ini
beroperasi dengan menggalang dana masyarakat (kaya), khususnya melalui dana wakaf
tunai, untuk kemudian dikelola dimana hasil pengelolaannya disalurkan untuk masyarakat
miskin.
Untuk kasus Indonesia, upaya seperti yang dilakukan oleh SIBL tersebut, merupakan
satu alternatif yang menarik. Dengan jumlah penduduk muslim yang mayoritas, maka upaya
penggalangan serta pengelolaan dana wakaf (tunai) seperti halnya di atas, diharapkan dapat
lebih ter-apresiasi-kan oleh masyarakat (muslim), minimal secara kultural.
Di sisi lain, keberadaan institusi-institusi syariah (khususnya perbankan) merupakan
alternatif lembaga yang representatif untuk mengelola dana-dana amanah tersebut. Di
samping itu dana–dana tersebut juga merupakan salah satu sumber dana bagi perbankan
(lembaga keuangan) syariah, dimana secara prinsip telah terakomodasikan di dalam
ketentuan perbankan syariah.
Copyright © Rumah Zakat Indonesia 2
B. SERTIFIKAT DANA WAKAF PRODUKTIF
Umumnya kita mengenal wakaf berupa properti seperti tanah dan bangunan, namun
demikian dewasa ini telah disepakati secara luas oleh para ulama bahawa salah satu bentuk
wakaf dapat berupa uang tunai. Secara umum definisi wakaf tunai adalah penyerahan aset
wakaf berupa uang tunai yang tidak dapat dipindahtangankan dan dibekukan untuk selain
kepentingan umum yang tidak mengurangi ataupun menghilangkan jumlah pokoknya
(substansi esensial wakaf).
Sertifikat wakaf tunai merupakan semacam dana abadi yang diberikan oleh individu
maupun lembaga muslim yang mana keuntungan dari pengelolaan dana tersebut akan
digunakan untuk pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat
miskin. Secara teknis, sertifikat wakaf tunai ini dapat dikelola oleh suatu badan investasi
sosial tersendiri seperti halnya Social Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh atau
dapat juga menjadi salah satu produk dari institusi/perbankan syariah yang ada.
Untuk lebih jelasnya tujuan sertifikat wakaf tunai adalah sebagai berikut:
1. Membantu dalam pemberdayaan tabungan sosial.
2. Melengkapi jasa perbankan sebagai fasilitator yang menciptakan Wakaf Tunai serta
membantu pengelolaan wakaf yang mentransformasi tabungan sosial menjadi modal
sosial.
3. Keuntungan pengelolaannya untuk masyarakat miskin.
4. Menciptakan kesadaran di kalangan orang-orang kaya mengenai tanggung jawab
sosial mereka terhadap masyarakat miskin.
5. Untuk membantu mengembangkan sumber modal sosial.
6. Untuk membantu pengembangan negara secara umum dan untuk menciptakan
integrasi yang unik antara keamanan sosial dan kedamaian sosial.
Pengertian dan Landasan Syariah Sertifikat Wakaf Tunai
Wakaf yang terambil dari kata kerja bahasa Arab ‘waqafa’ itu menurut bahasa berarti
menahan atau berhenti. Dalam hukum Islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik
yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf), baik berupa
perorangan maupun badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya
digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan ajaran syari’at Islam. Harta yang telah
Copyright © Rumah Zakat Indonesia 3
diwakafkan keluar dari hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula menjadi hak milik nadzir,
tetapi menjadi hak milik Allah dalam pengertian hak masyarakat umum.
Dasar Hukum Wakaf diambil dari al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ ulama:
Firman Allah: ” Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran [3]: 92)
Sabda Rasul: “apabila manusia wafat, terputuslah amal perbuatannya, kecuali dari
tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan atau anak yang shaleh.”
(HR. Muslim). Para ulama menafsirkan sabda rasul ‘sedekah jariyah’ sebagai wakaf, bukan
sebagai wasiat memanfaatkan harta.
Wakaf mulai dipraktekkan dalam masyarakat Islam sejak masa Rasulullah saw.
diantara buktinya ialah wakaf Umar bin Khattab r.a.:
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa Umar bin Khattab mendapat sebidang
tanah di Khaibar. Lalu Umar bin Khattab menghadap rasulullah untuk memohon petunjuk
beliau tentang apa yang sepatutnya dilakukannya terhadap tanahnya tersebut. Umar berkata
kepada rasulullah: ‘ya rasulullah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar dan saya belum
pernah mendapat harta lebih baik dari tanah di Khaibar itu. Karena itu saya memohon
petunjuk rasulullah tentang apa yang sepatutnya saya lakukan pada tanah itu’. Rasulullah
menjawab, ‘jika anda mau, tahanlah tanahmu itu dan anda sedekahkan’. Lalu Umar
mensedekahkannya dan mensyaratkan bahwa tanah itu tidak boleh diwariskan. Umar
salurkan hasil tanah itu buat orang-orang fakir, ahli familinya, membebaskan budak, orangorang
yang berjuang fi sabilillah, orang-orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan dan
tamu. Pengurus wakaf itu sendiri, boleh makan dari hasil wakaf tersebut dalam batas-batas
yang ma’ruf (biasa). Ia juga boleh memberi makan orang lain dari wakaf tersebut dan tidak
bertindak sebagai pemilik harta sendiri”. Sumber-sumber menyebutkan bahwa wakaf Umar
bin Khattab itu adalah wakaf yang pertama dalam Islam. (Al-Malibary, Fathul Mu’in, bersama
Syarahnya Al-Bakri, I’anatuththalibin, Kairo: Isa al-Halabi, III, hal. 158).
Imam Nawawi menarik beberapa kesimpulan penting dari hadits di atas, diantaranya:
a. Hadits ini menjadi dasar sahnya wakaf dalam Islam.
b. Harta wakaf tidak boleh dijual atau dihibahkan atau diwariskan
c. Syarat-syarat wakif (pemberi wakaf) perlu diperhatikan
d. Pentingnya memberikan dana melalui wakaf kepada kaum muslimin.
Copyright © Rumah Zakat Indonesia 4
e. Pentingnya mengadakan musyawarah dengan orang yang pandai untuk menetapkan
pemanfaatan suatu harta atau cara pengelolaan suatu kekayaan.
Ketentuan Wakaf dan Persyaratan Nadzir Pengelola Wakaf
Terdapat empat syarat sahnya wakaf atau disebut juga sebagai rukun wakaf yaitu :
1. Mengenai orang yang melakukan perbuatan wakaf (al-wakif) hendaklah dalam keadaan
sehat rohaninya dan tidak dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan di mana
jiwanya tertekan.
2. Mengenai harta benda yang akan diwakafkan (al-mawquf) harus jelas wujudnya atau
dzatnya, di samping harta itu bersifat tidak cepat habis. Artinya, bahwa harta itu tidak
habis sekali pakai. Ia harus bersifat kekal dan dapat diambil manfaatnya untuk jangka
waktu yang kekal pula.
3. Mengenai sasaran yang berhak menerima hasil atau manfaat wakaf (al-mawquf ‘alaih)
dapat dibagi menjadi dua macam: wakaf khairy dan wakaf dzurry. Wakaf khairy adalah
wakaf di mana wakifnya tidak membatasi sasaran wakafnya untuk pihak tertentu tetapi
untuk kepentingan umum. Sedangkan wakaf dzurry adalah wakaf di mana wakifnya
membatasi sasaran wakafnya untuk pihak tertentu, yaitu keluarga keturunannya.
4. Mengenai bentuk yang perlu diperhatikan dalam menyatakan harta yang bersangkutan
sebagai wakaf disebut sighah.
Selanjutnya persoalan yang menyangkut siapa yang akan melakukan perawatan,
pengurusan dan pengelolaan aset wakaf yang dalam istilah fikih dikenal dengan nadzir
wakaf, atau mutawalli wakaf termasuk hal yang sangat krusial. Hal itu karena aset wakaf
adalah amanah Allah yang terletak di tangan nadzir. Oleh sebab itu, nadzir adalah orang
yang paling bertanggungjawab terhadap harta wakaf yang dipegangnya, baik terhadap harta
wakaf itu sendiri maupun terhadap hasil dan upaya-upaya pengembangannya. Setiap
kegiatan nadzir terhadap harta wakaf harus dalam pertimbangan kesinambungan harta wakaf
untuk mengalirkan manfaatnya untuk kepentingan mawquf ‘alaih. Manfaat yang akan
dinikmati oleh wakif sangat tergantung kepada nadzir, karena di tangan nadzirlah harta wakaf
dapat terjamin kesinambungannya. Oleh karena begitu pentingnya kedudukan nadzir dalam
perwakafan, maka pada diri nadzir perlu terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi
yaitu : telah baligh/berakal, mempunyai kepribadian yang dapat dipercaya (amanah), serta
mempunyai keahlian dan kemampuan untuk memelihara dan mengelola harta wakaf.
Copyright © Rumah Zakat Indonesia 5
Tugas dan Tanggung Jawab Lembaga Pengelola Wakaf
Institusi atau lembaga pengelola wakaf pengertiannya berkaitan langsung dan tidak
dipisahkan dari upaya-upaya produktif dari aset wakaf. Inti ajaran yang terkandung dalam
amalan wakaf itu sendiri menghendaki agar harta wakaf itu tidak boleh hanya dipendam
tanpa hasil yang akan dinikmati oleh mawquf ‘alaih. Semakin banyak hasil harta wakaf yang
dapat dinikmati orang, akan semakin besar pula pahala yang akan mengalir kepada pihak
wakif. Berdasarkan hal tersebut, dari sisi hukum fikih, pengembangan harta wakaf secara
produktif merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pengelolanya (nadzir).
Dalam kitab Mughnil Muhtaj, oleh Syams al-Dien Muhammad bin Ahmad al-Syarbaini
dijelaskan tugas nadzir sebagai berikut: “kewajiban dan tugas nadzir wakaf adalah:
membangun, mempersewakan, mengembangkannya agar berhasil dan mendistribusikan
hasilnya itu kepada pihak-pihak yang berhak, serta kewajiban memelihara modal wakaf dan
hasilnya.”
Dalam kitab Syarh Muntaha al-Adaab oleh Manshur bin Yunus al-Bahuty (hal. 504-
505) dijelaskan: “tugas nadzir wakaf adalah memelihara harta wakaf, membangunnya,
mempersewakannya, menanami lahannya dan mengembangkannya agar mengeluarkan
hasil yang maksimal seperti hasil sewa, hasil pertanian dan hasil perkebunan.”
Dr. Idris Khalifah, Ketua Forum Ilmiyah di Tethwan Magribi, dalam hasil penelitiannya
yang berjudul ‘Istitsmar Mawarid al-Awqaf’ membeberkan sepuluh tugas nadzir wakaf
sebagai berikut:
a. Memelihara harta wakaf
b. Mengembangkan wakaf, dan tidak membiarkan terlantar sehingga tidak mendatangkan
manfaat.
c. Melaksanakan syarat dari wakif yang tidak menyalahi hukum syara’.
d. Membagi hasilnya kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya tepat waktu.
e. Membayarkan kewajiban yang timbul dari pengelolaan wakaf dari hasil wakaf itu
sendiri.
f. Memperbaiki aset wakaf yang rusak sehingga kembali bermanfaat.
g. Mempersewakan harta-harta wakaf tidak bergerak, seperti bangunan dan tanah,
dengan sewa pasaran.
Copyright © Rumah Zakat Indonesia 6
h. Menginvestasikan harta wakaf untuk tambahan penghasilannya.
i. Nadzir bertanggungjawab atas kerusakan harta wakaf yang disebabkan kelalaiannya
dan dengan itu ia boleh diberhentikan dari jabatannya itu.
Manajemen Kontemporer Dana Wakaf Produktif
Terdapat dua macam praktek wakaf yaitu Wakaf Mutlaq dan Wakaf Muqayyad.
Wakaf mutlaq adalah praktek wakaf di mana wakif menyerahkan sepenuhnya kepada si wakif
untuk mengelolanya tanpa batas. Adapun wakaf muqayyad adalah wakaf di mana wakif
mensyaratkan agar harta yang diwakafkan itu hanya boleh dikelola dengan cara tertentu dan
diberikan kepada pihak tertentu. Dalam praktek wakaf mutlaq, nadzir lebih leluasa melakukan
upaya-upaya produktif sehingga harta wakaf bisa berhasil lebih maksimal. Secara historis,
cara yang banyak ditempuh, sesuai dengan informasi dalam buku-buku fikih, adalah dengan
jalan mempersewakan harta wakaf. Hal ini sejalan dengan kenyataannya bahwa kebanyakan
harta wakaf adalah dalam bentuk al-‘iqar (harta tak bergerak, seperti lahan pertanian dan
bangunan).
Ada beberapa bentuk penyewaan yang terdapat dalam konsep fikih:
1. Sewa biasa (ijarah). Dengan pertimbangan kemaslahatan harta wakaf, para ulama
mazhab yang empat sepakat membolehkan mempersewakan harta wakaf, meskipun
mereka berbeda dalam beberapa hal.
2. Akad sewa menyewa ganda (‘aqd al-ijaratain). Akad sewa ganda ini dilakukan untuk
mengatasi kekurangan modal untuk membangun bangunan di atas sebidang tanah
wakaf. Untuk memperoleh modal, diadakan kontrak sewa dengan seorang penyewa
untuk jangka waktu lama, dengan dua tingkat sewa menyewa. Sewa pertama dibayar
lebih dulu sejumlah yang memungkinkan untuk membangun bangunan dimaksud.
Sedangkan sewa kedua merupakan sewa bulanan dengan harga yang lebih murah
yang harus dibayar selama menghuni rumah. Sewa kedua ini masih diperlukan untuk
menghindarkan kemungkinan ada klaim dari penyewa bahwa rumah itu telah dibelinya.
3. Al-Hikru, yaitu sebuah akad sewa menyewa tanah wakaf untuk masa waktu yang lama,
serta memberi hak kepada penyewa untuk mendiami tanah itu, untuk membangun atau
bercocok tanam di atas lahan pertanian dan memberinya hak untuk memperpanjang
masa sewa setelah kontrak pertama habis, selama ia masih mampu membayar sewa
pasaran.
Copyright © Rumah Zakat Indonesia 7
4. Al-Marshid, yaitu sebuah kesepakatan dengan calon penyewa yang bersedia
meminjami nadzir sejumlah dana untuk memperbaiki bangunan wakaf sebagai hutang
yang kemudian akan dibayar dengan sewa harta wakaf itu sendiri.
5. Pengembangan hasil sewa wakaf dengan membelikannya kepada benda yang bisa
menghasilkan, misalnya dengan memodali pembangunan gedung yang kemudian
dapat disewakan lagi.
6. Dengan melakukan kerja sama dalam pengelolaan lahan pertanian wakaf di samping
dengan mempersewakannya kepada pihak yang punya modal, juga mungkin dengan
kerjasama muzara’ah.
Masalah Wakaf dengan Uang Tunai
Hukum mewakafkan uang tunai merupakan permasalahan yang diperdebatkan di
kalangan ulama fikih. Seperti kita kemukakan di atas, cara yang lazim dipakai oleh
masyarakat dalam mengembangkan harta wakaf berkisar pada penyewaan harta wakaf. Oleh
karena yang lazim dilakukan dalam pengembangan harta wakaf adalah mempersewakannya,
maka sebagian ulama merasa sulit menerima ketika ada diantara ulama yang berpendapat
sah hukumnya mewakafkan uang dirham dan dinar. Yang lebih membuat mereka sulit
menerima dengan pendapat itu adalah karena pola umum pengelolaan ast wakaf adalah
dengan mempersewakankan. Dengan uang sebagai aset wakaf, maka pendayagunaannya
akan terbentur dengan larangan riba.
Dalam ‘Al-Is’af fi Ahkam al-Awqaf, Al-Tharablis menyatakan: “Sebagian ulama klasik
merasa aneh ketika mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdullah al-
Anshori, murid dari Zufar, sahabat Abu Hanifah, tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk
uang kontan dirham atau dinar, dan dalam bentuk komoditas yang dapat ditimbang atau
ditakar, seperti makanan gandum. Yang membuat mereka merasa aneh adalah karena tidak
mungkin mempersewakan benda-benda seperti itu, oleh karena itu mereka segera
mempersoalkannya dengan mempertanyakan apa yang dapat kita lakukan dengan dana
cash dirham? Atas pertanyaan ini Muhammad bin Abdullah al-Anshori menjelaskan dengan
mengatakan: ‘kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah dan labanya kita
sedekahkan. Kita jual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha mudharabah
kemudian hasilnya disedekahkan.”
Di kalangan Malikiyah populer pendapat yang membolehkan berwakaf dalam bentuk
uang kontan seperti dilihat dalam kitab al-Majmu’ oleh Imam Nawawi (15/325) yang
Copyright © Rumah Zakat Indonesia 8
mengatakan: “dan para sahabat kita berbeda pendapat tentang berwakaf dengan dana
dirham dan dinar. Orang yang membolehkan mempersewakan dirham dan dinar
membolehkan berwakaf dengannya dan yang tidak memperbolehkan mempersewakannya
tidak membolehkan mewakafkannya.”Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa
(31/234-235), meriwayatkan satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang membolehkan
berwakaf dalam bentuk uang, dan hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Qudamah dalam
bukunya al-Mughni (8/229-230).
Di samping ada yang membolehkan berwakaf dengan uang seperti di atas, terdapat
pula banyak ulama yang tidak memperbolehkannya. Alasan mereka adalah:
1. bahwa uang bisa habis zatnya sekali pakai. Sedangkan inti ajaran wakaf adalah pada
kesinambungan hasil dari modal dasar yang tetap lagi kekal, tidak habis sekali pakai.
Oleh karena itu ada persyaratan agar benda yang akan diwakafkan itu adalah benda
yang tahan lama, tidak habis dipakai.
2. uang seperti dirham dan dinar diciptakan untuk alat tukar yang memudahkan orang
melakukan transaksi jual beli, bukan untuk ditarik manfaatnya dengan mempersewakan
zatnya.
Upaya Ekstensifikasi Sumber Wakaf
Adanya wacana bolehnya wakaf dengan uang tunai seperti di atas, memperlihatkan
adanya upaya yang terus menerus untuk memaksimalkan sumber dana wakaf. Karena
semakin banyak dana wakaf yang dapat dihimpun, berarti semakin banyak pula kebaikan
yang mengalir kepada pihak yang berwakaf. Dengan demikian, pendapat ulama yang
membolehkan berwakaf dalam bentuk uang, membuka peluang bagi aset wakaf untuk
memasuki berbagai macam usaha investasi seperti syirkah, mudharabah dan lainnya.
Dari berbagai pandangan ulama tentang wakaf tunai tersebut menunjukkan adanya
kehati-hatian para ulama dalam memberikan fatwa sah atau tidak sahnya suatu praktek
wakaf. Hal ini disebabkan harta wakaf adalah harta amanah yang terletak di tangan nadzir.
Sebagai harta amanah, maka nadzir hanya boleh melakukan hal-hal yang mendatangkan
kemaslahatan bagi harta wakaf. Berdasarkan pertimbangan ini, jika kita akan memilih
pendapat yang membolehkan berwakaf dalam bentuk tunai, maka yang perlu dipikirkan
adalah bagaimana langkah yang mungkin mengantisipasi adanya resiko kerugian yang akan
mengancam eksistensi dan kesinambungan aset wakaf.
Copyright © Rumah Zakat Indonesia 9
Wakaf Sebagai Sumber Dana Abadi
Tujuan wakaf ialah rai’/hasil dari manfaat wakaf yang diusahakan. Al-Malibary
mengatakan: “penyaluran hasil wakaf kepada yang diberi wakaf itulah yang menjadi tujuan
wakaf.” Jadi wakaf pertama-tama ialah membuahkan hasil yang dalam istilah fiqh disebut rai’.
Pengertian rai’ ialah: “semua faedah (hasil) dari yang diwakafkan seperti upah (sewa) susu,
anak hewan yang baru dikandung induknya sesudah diwakafkan, buah yang baru timbul
setelah diwakafkan dan dahan yang biasa dipotong.” Jika tujuan wakaf itu merupakan hasil
dari suatu kumpulan aset wakaf, maka substansi esensial wakaf adalah suatu sistemasi
upaya pengakumulasian dana abadi masyarakat (yang hasil kelolaannya untuk masyarakat).
Dasar kesimpulan ini ada dua prinsip, yaitu:
1. Hendaklah yang diwakafkan berupa aset.
Tujuan wakaf ialah menjadi sumber dana yang berlangsung lama. Ketentuan ini tidak
dapat terwujud kecuali pada benda yang dapat diambil manfaatnya, sementara wujud
bendanya tetap ada, tidak hilang.
2. Tidak boleh dijual, diwariskan dan dihibahkan
Ini adalah syarat yang harus berlaku pada harta yang diwakafkan. Larangan menjual,
mewariskan dan menghibahkan harta wakaf adalah untuk mencegah perubahan
status pada harta wakaf dari milik umum (public property) menjadi milik pribadi.
Sehingga wakaf akan tetap selamanya menjadi sumber dana masyarakat secara
umum.
Prosedur dan Alokasi Wakaf
Islam mengatur pelaksanaan wakaf melalui tata cara dan prosedur sederhana
sebagai berikut:
a. Pernyataan (Ikrar Wakaf)
Titik tolak wakaf berpangkal dari pernyataan wakif (pemberi wakaf) bahwa ia
mewakafkan hartanya.
b. Kabul (Alokasi dan Penerimaan Wakaf)
Yang diberi wakaf terbagi dua golongan : pihak khusus atau pihak umum.
c. Bersifat Aset Abadi
d. Dapat diambil Manfaat dari Wakaf
e. Keharusan adanya Nazhir (Pengurus/Manager Aset Wakaf)
Wakaf sebagai Dana Publik
Copyright © Rumah Zakat Indonesia 10
Pengelolaan dana wakaf ini juga harus disadari merupakan pengelolaan dana publik
yang manfaatnya pun akan disalurkan kembali kepada publik. Untuk itu tidak saja
pengelolaaannya yang harus dilakukan secara profesional, akan tetapi juga budaya
transparansi serta akuntabilitas merupakan satu faktor yang harus diwujudkan. Pentingnya
budaya ini ditegakkan karena di satu sisi hak wakif atas aset (wakaf tunai) telah hilang,
sehingga dengan adanya budaya pengelolaan yang profesional, transparansi serta
akuntabilitas, maka beberapa hak konsumen (wakif) seperti :
a. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
b. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
c. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
sedikit banyak akan dapat dipenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abu Zahra Tanzim al lstam-li-'lmujtama'; Abu Saud, M, Main Features of Islamic
Economy (Arabic);
2. AI-Qardawi, Yusuf.: Fiqh al-Zakat, p. 43,. Vol. I and p. 851, Vol. 11: 1969.
3. Cf. Hassanein, M., "Towards a Model of the Economics of Islam" in MSA
Contemporary Aspects of Economic and Social Thinking in Islam (Proceedings of the
III East Coast Regional Conference), N.Y. 1970.
4. Cf: Kahf Monzer, "A Model of the Household Decision in the Islamic Economic in
AMSS: Proceedings
5. Ibn-'Ashur, M. T., Principles of Social Organisation in Islam (Arabic), pp. 190-1970
Maktabah al-Rasmiyeh, Tunis, 1964.
6. Lewis, W. A., The Theory of Economic Growth, London: 1963
7. Mawdud Economic Problem of Man and its Islamic Solution. Maktabah Jama't-ilslamic
Delhi.
8. Nahdh Misr and Abu Yusuf, Al-Kharaj, Al-Matba' al-Salafiya.
9. Qutb, Syed: Social Justice in Islam (Arabic Ghazali, M, Islam and Economic
Organisation (Arabic), Cairo;
Copyright

Dr. Setiawan Budi Utomo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar