SD Negeri 4 Purwokerto Lor

SD Negeri 4 Purwokerto Lor
Pemberian Sodaqoh Menjelang Idul Fitri 1432 H

Rabu, 20 Juli 2011

Potensi Wakaf Produktif Untuk Kesehjahteraan Masyarakat


A. Mukaddimah
Menurut Imam Nawawi, wakaf adalah penahanan harta yang bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga keutuhan barangnya, terlepas dari campur tangan wakif atau lainnya, dan hasilnya disalurkan kepada peruntukannya untuk tujuan kebaikan yang semata-mata untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.[2]  Sedangkan Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf Pasal (1) mendefinisikan wakaf  adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu terntentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.[3]
Arti definisi menurut undang-undang ini telah mengakomodir berbagai macam harta benda wakaf, benda bergerak maupun tidak bergerak termasuk wakaf uang. Demikian juga diakomudir tentang wakaf dalam jangka waktu terntu, meskipun wakaf seperti ini tidak banyak dibahas oleh para ulama fiqh salaf. Secara sepesifik, undang-undang tentang wakaf memuat bagian yang mengatur wakaf uang.
Wakaf telah mempunyai sejarah yang panjang dalam instrument sosial dan ekonomi masyarakata Islam. Keberhasilan perwakafan dalam sejarah Islam membuktikan bahwa Islam mampu memberi solusi jaminan sosial dan kesejahteraan bagi pemeluknya. Wakaf dalam sejarah Islam tidak hanya menjadi pilar kesejahteraan masyarakat atau perorangan, lebih dari itu wakaf telah menjadi pilar ekonomi negara dalam membangun infra struktur, ekonomi, ketahanan dan peradaban. Sebagaimana spirit perwakafan yang ditunjukkan oleh sayyidina Umar bil al-Khaththab pada saat mewakafkan tanah yang paling baik dan subur  di Khaibar adalah untuk  turut andil dalam memberi kontribusi terhadap kebutuhan masyarakat dan mensejahterakan umat.
Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rashid. Puteri Zubaidah (istri Khalifah) pernah membangun jalan raya dari Baghdad di Irak sampai ke Mekkah. Jalan itu dibangun untuk mempermudah perjalanan jamaah yang hendak menunaikan ibadah haji di Makkah. Seluruh biaya pembangunan tersebut berasal dari harta wakaf yang dikelola oleh Puteri. Pada masa pemerintahan Utsmaniah di Turki, dana wakaf berhasil meringankan perbelanjaan negara, terutama  untuk menyediakan fasilitas pendidikan, sarana perkotaan dan fasilitas umum lainnya. Sedangkan wakaf di Mesir sudah semenjak lama harta wakaf dikelola, dan berhasil membangun dan membiayai dosen, mahasiswa dan staf Universitas Al-Azhar (Universitas tertua di dunia). Seluruh biaya operasional kegiatan Universitas mulai dari biaya mahasiswa (seluruhnya beasiswa), staf pengajar, pimpinan dan pengembangan Universitas  berasal dari harta wakaf.
Pada era perdagangan global, perwakafan telah memasuki pada wilayah investasi dan perdagangan multi nasional di bidang wakaf benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Islamic Development Bank (IDB) yang membentuk Badan Wakaf Dunia pada 2001, mengembangkan perwakafan produktif disektor riil dan perdagangan saham.  Investasi dilakukan di beberapa negara seperti  di Qatar, Kuwait, Malaysia dan beberapa negara lainnya, berupa perhotelan, perkantoran dan pertanian. Demikian juga Kuwait Public Waqf Foundation (al amanah al ’aamah li al-awqaf) menempatkan perwakafan sebagai instrumen ekonomi dan jaminan sosial. Penerima wakaf dari masyarakat dilakukan dengan cara yang mudah, di antaranya melalui Mobil banking, Short massege Service (SMS) dan kios wakaf. Kemudian dikelola secara profesional melalui beberapa sektor pengembangan ekonomi.
Di Malaysia untuk mengembangkan harta wakaf, investasi dilakukan melalui instrumen sukuk dan Pasar Modal Malaysia yang diterbitkan oleh Suruhanjaya Sekuriti pada Februari 2001. Penerbitan Saham Wakaf dilakukan oleh beberapa negeri seperti Johor, Melaka, dan Selangor. Hal ini dilakukan sesuai dengan keputusan Majma’ Fiqh Islamî pada 24 November 2005. Untuk menjamin pengelolaan wakaf uang di negara ini, dibentuk Pelan Takaful Wakaf oleh Syarikat Takaful Malaysia Berhad yang berdiri sejak tahun 1997. Syarikat Takaful ini dioperasikan berdasarkan prinsip mudhârabah. Keuntungan dari investasi pada portofolio keuangan syari’ah merupakan jumlah dari empat portofolio yaitu deposito perbankan syari’ah, obligasi syari’ah dan pasar modal syari’ah. Keuntungan akan digabung dengan keuntungan portofolio lainnya kemudian didistribusikan untuk rakyat miskin.
Pengelolaan  wakaf juga terjadi di negara sekuler Singapura. Dengan penduduk muslim minoritas (lebih kurang 453.000 orang saja) berhasil membangun harta wakaf secara inovatif. Melalui WARESS Investment Pte Ltd telah berhasil mengurus dan membangun harta wakaf secara profesional. Di antaranya, membangun apartement 12 tingkat bernilai sekitar S$62.62 juta. WARESS juga berhasil membangun proyek perumahan mewah yang diberi nama The Chancery Residence.   

B. Perwakafan di Indonesia
Sejak pra-Islam, Indonesia telah mengenal praktik kedermawanan dengan istilah yang berbeda-beda tetapi  esensinya sama persis dengan perwakafan. Di Banten terdapat ”Huma Serang”, yaitu ladang-ladang yang setiap tahun dikelola secara bersama-sama dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan bersama. Di Lombok terdapat “Tanah Preman”, ialah tanah negara yang dibebaskan dari pajak “landrente” yang hasilnya diserahkan kepada desa-desa, subak dan kepada Candi untuk kepentingan bersama. Di Jawa Timur terdapat “Tanah Perdikan”, ialah sebidang tanah yang merupakan pemberian raja kepada seseorang atau kelompok yang berjasa. Fungsi tanah itu untuk dikelola dan dimanfaatkan serta tidak boleh diperjual belikan.
Paradigma wakaf di Indonesia sejak masa penjajahan sampai era reformasi hanyalah dipahami sebagai benda mati, tidak produktif dan menjadi beban masyarakat. Artinya, Wakaf dalam pemahaman umat muslim Indonesia hanyalah seputar kuburan, Masjid dan madrasah yang tidak bernilai ekonomi. Hal ini tercermin dari asset wakaf yang ada dan juga peraturan perundang-undangan tentang wakaf dan peruntukan tanah wakaf di Indonesia.
Di Indonesi, Nazhir wakaf belum banyak dilakoni secara profesional, karena kebanyakan Nazhir wakaf hanya kerja sampingan. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2006, terhadap 500 responden nazhir di 11 Propinsi, menunjukkan bahwa harta wakaf lebih banyak bersifat diam (77%) daripada yang menghasilkan atau produktif (23%). Temuan umum lainnya juga menunjukkan pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid (79%) daripada peruntukkan lainnya, dan lebih banyak berada di wilayah pedesaan (59%)
daripada perkotaan (41%). Sedangkan para nazhir pun tidak terfokus dalam mengelola, mereka mayoritas bekerja sambilan dan tidak diberi upah (84%), dan yang bekerja secara penuh dan terfokus ternyata amatlah minim (16 %). Selain itu, wakaf di Indonesia lebih banyak dikelola oleh perseorangan (66%) alias tradisional, daripada organisasi professional (16%) dan berbadan hukum (18%). Ironis.
Adapun peraturan wakaf di Indonesia pra kemerdekaan hanya berdasarkan kebiasaanya masyarakat yang bersumber dari ajaran Islam dan diatur berdasarkan surat-surat edaran pemerintan Hindia Belanda. Kemudian pelaksanaan wakaf diatur oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang: Peraturan Dasar Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan itu hanya mengatur dari sisi administratif dan kepemilikan tetapi belum menyentuh soal pengelolaannya.

C. Paradigma Baru Perwakafan di Indonesia
 Sesuai perkembangan ilmu ekonomi dan ilmu hukum di Indonesia, wakaf yang merupakan produk ijtihad telah mengalami perubahan yang signifikan. Pada penghujung tahun 2004 Indonesia telah mengesahkan undang undang wakaf yang merupakan titik awal paradigma baru tentang pamahaman wakaf di Indonesia. Diantara beberapa perkembangan yang terdapat dalam Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf  adalah tentang harta wakaf, institusionalisasi wakaf dan manajemen pengembangan wakaf.
Paradigma baru tentang harta wakaf dapat dilihat Pada Bab II  Bagian Keenam Pasal 16 yang menyebutkan bahwa harta wakaf terdiri dari benda tidak bergerak; dan bendan bergerak. Benda tidak bergerak bisa berupa tanah, bangunan dan tanaman yang semuanya berhubungan dengan tanah. Sedangkan benda wakaf  bergerak adalah harta benda yang tidak boleh habis karena dikonsumsi, meliputi uang, logam mulia dan surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan harta bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari'ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam bagian ini telah mengesahkan wakaf  produktif dan wakaf uang.
Undang undang ini merupakan suatu loncatan dalam pemahaman fiqh Islam, di mana barang yang habis jika dibelanjakan seperti uang dan surat berharga bisa ditanggulangi dengan sistem modern yaitu lembaga penjamin. Lembaga penjamin dapat melestarikan harta pokok wakaf untuk mengantisipasi jika mengalami pailid (iflas) pada saat pengelolaan dan pengembangannya.
Institusionalisasi Harta wakaf dapat dilihai pada Bab VI yang mencantumkan Badan Wakaf Indonesia. Maka pengembangan harta wakaf di Indonesia didaftar dan diatur oleh suatu lembaga yang khusus menangani wakaf. Persepsi tentang wakaf yang dikelola oleh individu dan tradisional akan bergeser kepada lembaga atau organisasi yang modern dan dijamin oleh undang-undang. Institusi wakaf nantinya akan menjawab kebekuan komunikasi dan kerjasama dengan pihak lain guna pengembangan harta wakaf.
Perubahan paradigma manajemen pengembangan wakaf dapat dilihat pada Bab V yang mengupas tentang pengembangan harta wakaf. Pengelola (nazhir) wakaf bisa dari individu yang cukup syarat, organisasi sosial keagamaan dan bisa dari lembaga hukum. Artinya, pengelola harta wakaf bisa dilakukan secara kolektif sesuai dengan perkembangan zaman. Di mana badan usaha dan pengembangan usaha masa sekarang ini dikelola secara kolektif dan professional.
Pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak. Pada ayat (3) Pasal 16 disebutkan bahwa benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa; dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.   
Dalam Undang-Undang Tentang Wakaf ini, wakaf uang juga diatur dalam bagian tersendiri. Dalam Pasal 28 UU tersebut disebutkan bahwa wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang (LKS-PWU) yang ditunjuk oleh Kementerian Agama. Kemudian dalam Pasal 29 ayat (1) disebutkan pula bahwa wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dilaksanakan oleh wakif dengan pernyataan kehendak wakaf yang dilakukan secara tertulis. Dalam ayat (2)  Pasal yang sama dinyatakan bahwa wakaf benda bergerak berupa uang diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang. Sedangkan dalam ayat (3) Pasal yang sama bahwa sertifikat wakaf uang diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syari’ah kepada wakif dan nadzir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf.
Perbedaan spesifik tentang wakaf yang diatur pada Pasal 28 sampai Pasal 31 ialah wakaf uang harus disetor melalui Lembaga Keluangan Syariah (LKS) yang telah ditetapkan oleh Menteri Agama RI. Dalam keputusan Menteri Agama RI telah menetapkan delapan LKS Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU), yaitu BNI Syaria’ah, Bank Mu’amalat, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, Bank DKI Syariah, Bank Bukopin Syariah, Bank Tabungan Negara (BTN) Syariah, dan Bank Jogya Syaria.[4] Wakaf uang harus dibuktikan dengan sertfikat. Menurut Peraturan Badan Wakaf Indonesia,[5] sertifikat dapat diberikan kepada wakif yang telah mewakafkan uangnya paling sedikit Rp1.000.000 (satu juta rupiah) dengan menyertakan asal usul uang dan identitas lengkap wakifnya.
Dalam Undang-undang Tentang Wakaf  disebutkan  perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Tentang Wakaf disebutkan bahwa dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Badan Wakaf Indonesia tersebut berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan (Pasal 48). Dalam Pasal 51 ayat (1) disebutkan bahwa Badan Wakaf Indonesia terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan. Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Adapun ayat (2) Pasal yang sama menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya Badan Wakaf Indonesia dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah, baik Pusat maupun daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dianggap perlu. Dalam Pasal 50 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Badan Wakaf Indonesia memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia. Wakaf dalam paradigma yang baru ini lebih mengedepankan unsur produktifnya dan sumber ekonomi umat dari pada wakaf yang hanya untuk memenuhi kebutuhan ibadah dan penyediaan sarana ibadah murni ('ibadah mahdlah).

D. Optimalisasi Potensi Wakaf Produktif
Menurut Data Departemen Agama Tahun 2010 jumlah seluruh tanah wakaf di Indonesia sebanyak 414.848 lokasi dengan luas 2.171.041.349. M2 yang mayoritas belum dikelola secara produktif dan belum menjadi sumber ekonomi.  Dilihat dari sumber daya alam atau tanahnya (resources capital) jumlah harta wakaf di Indonesia merupakan jumlah harta wakaf terbesar di seluruh dunia. Dan ini merupakan tantangan bagi kita untuk memfungsikan harta wakaf tersebut secara maksimal sehingga tanah-tanah tersebut mampu mensejahterakan umat Islam di Indonesia sesuai dengan fungsi dan tujuan ajaran wakaf yang sebenarnya.
Jumlah tanah wakaf di Indonesia yang begitu besar juga dilengkapi dengan sumber daya manusia (human capital) yang sangat besar pula. Hal ini karena, Indonesia merupakan Negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Oleh karena itu, dua modal utama yang telah dimiliki bangsa Indonesia tersebut semestinya mampu memfungsikan wakaf secara maksimal, sehingga perwakafan di Indonesia menajadi wakaf produktif dan tidak lagi bersifat konsumtif.
Menurut Monzer Kahf, Konsultan Islamic Finance USA, untuk optimalisasi fungsi wakaf perlu pembiayaan proyek-proyek wakaf dalam rangka mengoptimalkan fungsinya sebagai sarana dalam meningkatkan kualitas hidup manusia. Ada dua bentuk pembiayaan proyek wakaf yakni model pembiayaan harta wakaf tradisional dan model pembiayaan secara institusional. Model pembiayaan proyek wakaf tradisional dalam wacana fiqh terdiri dari 1) Pembiayaan wakaf dengan cara menciptakan wakaf baru untuk melengkapi wakaf yang sudah ada, seperti perluasan Masjid Nabawi yang dilakukan pada masa khalifah Umar, Usman, Bani Umayyah, dan Bani Abasiyah. Setiap perluasan terjadi penambahan pada harta wakaf yang lama. 2) Pinjaman untuk biaya operasional dan biaya pemeliharaan dalam mengembalikan fungsi wakaf yang mendapat izin dari pemerintah. Wakaf akan lebih produktif jika pengelolaan ditingkatkan melalui investasi ijârah (leasing), mudhârabah, Musyârakah, dan lain sebagainya
Monzer Kahf menawarkan juga model untuk membiayai proyek-proyek wakaf dalam bentuk 1) Pembiayaan hukr (sewa jangka panjang dengan pembayaran di muka). Dalam model ini penyewa dapat membangun tanah wakaf dengan dana sendiri dan sepanjang ia membayar sewa kepada nazhir secara berkala. 2) Model pembiayaan ijaratain (sewa dengan dua kali pembayaran), model ijaratain menghasilkan sewa jangka panjang yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian pertama berupa pembayaran uang muka yang digunakan untuk merekonstruksi harta wakaf yang bersangkutan, dan bagian kedua berupa sewa tahunan secara periodik selama masa sewa.
Dalam pelaksanaannya model ijârah menurut Monzer Kahf, dilakukan dengan cara pengelola wakaf (nazhir) memberikan izin untuk beberapa tahun kepada penyedia dana untuk mendirikan gedung di atas tanah wakaf. Kemudian, nazhir menyewakan gedung tersebut untuk jangka waktu tertentu kepada penyedia dana dan menggunakan untuk tujuan wakaf seperti perkantoran, apartemen, dan lain sebagainya. Nazhir dalam model pembiayaan ini tetap memegang kendali penuh terhadap manajemen proyek. Pada akhir kontrak penyedia dana akan memperoleh kembali modalnya dan keuntungan yang dikehendaki. Setelah itu, penyedia dana tidak dapat memasuki lagi harta wakaf.
Berkaitan dengan hal ini, menarik sekali kasus investasi wakaf masjid yang dikembangkan di beberapa kota di Timur Tengah seperti Makkah, Kairo, dan Damaskus.

E. Optimalisasi Potensi wakaf Uang
Di berbagai negara, harta yang dapat diwakafkan tidak terbatas pada benda tidak bergerak, tetapi juga benda bergerak, termasuk uang. Penggunaan wakaf uang telah lama dikenal dalam pemerintahan Islam. M.A. Mannan dalam bukunya menyebutkan bahwa penggunaan wakaf uang  telah ada semenjak  zaman Pemerintahan  Utsmaniyah.[6] Penggunaan wakaf uang  juga dikenal pada masa kekhalifahan Ottoman.[7]  Di Indonesia pada tanggal 11 Mei 2002 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa tentang wakaf uang, yaitu boleh. Wakaf uang lebih fleksibel dan manjadi pendorong terhadap wakaf benda tidak bergerak agar lebih produktif.
Wakaf uang memudahkan mobilisasi dana dari masyarakat melalui sertifikat wakaf uang karena beberapa hal. Pertama, lingkup sasaran pemberi wakaf (waqif) bisa menjadi luas dibanding dengan wakaf benda tidak bergerak. Kedua, dengan sertifikat tersebut, dapat dibuat berbagai macam pecahan yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju yang dimungkinkan memiliki kesadaran beramal tinggi. Ketiga, wakif tidak perlu menunggu kaya raya atau tuan tanah untuk berwakaf karena uang lebih mudah dibuat pecahannya dan dapat berupa wakaf kolektif
Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan dalam wakaf uang, maka umat akan lebih mudah memberikan kontribusi mereka dalam wakaf tanpa harus menunggu kapital dalam jumlah yang sangat besar. Mereka tidak harus menunggu menjadi ‘tuan tanah’ untuk menjadi wakif. Selain itu, tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia cukup tinggi, sehingga kita dapat optimis mengharapkan partisipasi masyarakat dalam gerakan wakaf uang. Disebutkan hasil penelitian yang dipublikan PIRAC tahu 2002, 96 persen kedermawanan diperuntukkan untuk perorangan, 84 persen untuk lembaga keagamaan dan 77 persen untuk lembaga non keagamaan.
Jumlah umat Islam yang terbesar di seluruh dunia merupakan aset besar untuk penghimpunan dan pengembangan wakaf uang. Jumlah penduduk Indonesia 237 juta jiwa, yang mayoritas beragama Islam.[8] Jika wakaf uang dapat diimplementasikan maka ada dana potensial yang sangat besar yang bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan umat. Bisa dibayangkan, jika ‎‎20 juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf uang senilai Rp 100 ribu setiap bulan, maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika 50 juta orang yang berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp 60 triliun. Jika saja terdapat 1 juta saja masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebesar Rp 100.000, per bulan maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 100 miliar setiap bulan (Rp 1,2 triliun per tahun). Jika diinvestasikan dengan tingkat return 10 persen per tahun maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp 10 miliar setiap bulan (Rp 120 miliar per tahun). Sungguh suatu potensi yang luar biasa.
Menurut asumsi Mustafa Edwin Nasution[9] tentang potensi wakaf di Indonesia dengan jumlah umat muslim dermawan diperkirakan sebesar 10 juta jiwa dengan rata-rata penghasilan perbulan Rp500.000 hingga Rp10.000.000, maka paling tidak akan terkumpul danan sekitar 3 Triliun pertahun dari dana wakaf, seperti perhitungan tabel berikut ini
Tingkat Penghasilan/bulan
Jumlah Muslim
Tarif Wakaf/bulan
Potensi Wakaf Uang/bulan
Potensi Wakaf Uang/tahun
Rp500.000
4 juta
Rp5000,-
Rp20 Milyar
Rp240 Milyar
Rp1 Juta-Rp2 Juta
3 Juta
Rp10.000,-
Rp30 Milyar
Rp360 Milyar
Rp2 Juta-Rp5 Juta
2 Juta
Rp50.000,-
Rp100 Milyar
Rp1,2 Triliun
Rp5 Juta-10 Juta
1 Juta
Rp100.000,-
Rp100 Milyar
Rp1,2 Triliun
Total



Rp3 Triliun

Kemudian, Dana wakaf yang terkumpul ini digulirkan dan diinvestasikan oleh nazhir ke dalam berbagai sektor usaha yang halal dan produktif. Misalnya pengembangan wakaf uang dalam produk lembaga keuangan syariah atau membangun sebuah kawasan perdagangan yang sarana dan prasarananya dibangun di atas lahan wakaf dan dari dana wakaf. Proyek ini ditujukan bagi kaum miskin yang memiliki bakat bisnis untuk terlibat dalam perdagangan pada kawasan yang strategis dengan biaya sewa tempat yang relatif murah. Sehingga akan mendorong penguatan pengusaha muslim dan sekaligus menggerakkan sektor riil secara lebih massif. Kemudian, keuntungannya dapat dimanfaatkan untuk pemberdayaan umat dan bangsa secara keseluruhan.
Pengembangan wakaf uang dapat pula dilakukan dengan cara memproduktifkan wakaf tanah yang kekurangan modal untuk pengelolaan dan pengembangannya. Wakaf uang dengan mudah mengembangkan wakaf tanah yang kurang maksimal dalam pengelolaannya, baik di desa atau di kota sesuai dengan potensi ekonominya. Tanah wakaf yang berada di kawasan industri dapat dibangun lahan pertokoan dan perdagangan, di kawasan pemukiman dapat dibangun rumah susun sewa sederhana (rusunawa) yang hasilnya dapat mensubsidi kredit perumahan masyarakat miskin, di daerah wisata yang strategis, dapat dikembangkan dengan cara membangun pusat pelatihan, hotel, rumah sakit dan pusat perdagangan
Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang, sebagaimana di atas, dapat pula mengambil bentuk seperti “wakaf tunai”, yang telah diujicobakan di Bangladesh. Wakaf tunai (cash waqf) istilah yang dipopulerkan oleh Profesor M.A. Mannan, dengan Social Investment Bank. Ltd (SIBL)-nya merupakan bagian yang menjadikan wakaf uang sebagai sumber dana tunai. Konsep Temporary Waqf , pemanfaatan dana wakaf dibatasi pada jangka waktu tertentu dan nilai pokok wakaf dikembalikan pada wakif. Wacana lain yang menarik adalah memanfaatkan wakaf uang untuk membiayai sektor investasi berisiko, yang risikonya ini diasuransikan pada Lembaga Asuransi Syariah.
Menurut Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf. Pertama, Wakaf Uang dapat diinvestasi dalam produk Lembaga Keuangan Syariah, khusus wakaf uang dalam jangka waktu tertentu harus diinvestasikan ke Produk Bank syariah. Investasi wakaf uang atas asas bagi untung (mudharabah) atau berdasarkan penyewaan pengelola. wakaf uang diinvestasikan dalam bentuk mudharabah/wadi’ah (deposito) di Bank Islam tertentu atau unit investasi lainnya. Pada saat yang demikian, nazhir wakaf dengan tugas menginvestasikan wakaf uang dan mencari keuntungan dari wakafnya untuk dibagikan  hasilnya kepada orang  yang berhak mendapatkannya (mauquf ‘alaih). Sebagai nazhir, juga bisa memindahkan  investasi uang wakaf dari satu bank Islam ke bank Islam. Akan tetapi, nazhir tidak bisa  mengambil keputusan investasi uang wakaf dengan sendirinya, karena kewenangan dalam menginvestasikan uang wakaf terbatas kepada prosedur dan memilih model investasinya.
Kedua,  bentuk wakaf investasi  banyak dilakukan orang saat ini  dalam membangun proyek wakaf produktif, akan tetapi sebagian tidak ingin menyebutnya sebagai wakaf uang, karena harta telah  beralih menjadi barang yang bisa diproduksi dan hasilnya diberikan untuk amal kebaikan umum. Bentuk yang sederhana dari sistem wakaf ini adalah dengan membentuk cara bekerja sama dengan pihak ketiga atau dengan cara mengembangkan tanah wakaf . Badan wakaf bisa membolehkan dirinya menerima wakaf uang untuk  mendanai proyek wakaf tertentu, seperti pabrik pembangunan perangkat komputer, kemudian memberikan hasilnya untuk tujuan wakaf tertentu seperti untuk yayasan  anak yatim piatu dan sebagainya. Dengan banyaknya hasil wakaf yang diperoleh, tujuan wakaf bisa  banyak dan terdiri dari beberapa macam bentuk amal kebaikan.  [10]
Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang dalam bentuk investasi selain pada bank syariah harus diasuransikan pada asuransi syariah. Demikian juga Sebaran investasi harta dalam bentuk wakaf uang (portofolio wakaf uang) dapat dilakukan dengan ketentuan 60 % (enam puluh perseratus) investasi dalam instrumen LKS dan 40 % (empat puluh perseratus) di luar LKS. Dari hasil pengelolaan bersih harta benda wakaf, nazhir dapat menerima keuntungan tidak melebihi 10% dan penyaluran hasil dan manfaat wakaf kepada peruntukannya (mauquf ’alaih) tidak kurang dari 90%. Ketentuan Undang-undang wakaf ini untuk memaksimalkan fungsi perwakafan.
F. Prasyarat Investasi Wakaf
Untuk mengelola wakaf dengan investasi yang melimpah minimalnya membutuhkan 5 (lima) modal yaitu; modal legal-institusional, Modal intelektual  (orang  pemikir dan  penggagas), modal finansial (biaya), modal sosial (dukungan dari masyarakat), modal jaringan (kerjasama dengan berbagai macam lembaga baik nasional maupun internasional).
1.   Modal Legal-Institusional. Mengenai wakaf, Indonesia sudah cukup modal ini yaitu, Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, PP Nomor  42 tahun 2006 tentang Pelaksanaanya, Kepres No. 75/M Th. 2007, KMA Nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Wakaf Uang dan beberapa Peraturan BWI.
2.   Modal intelktual, yaitu orang pemikir dan penggagas agar syariat Islam ini dapat membumi dalam kehidupan nyata yang dinamik dan kreatif. Modal ini juga sudah cukup. karena para penggiat wakaf sudah melakukan inovasi-inovasi mengenai wakaf, seperti wakaf uang, wakaf benda bergerak selain uang, model-model wakaf produktif, model-model investasi harta wakaf dan lain-lain.
3.   Modal financial, karena yang menjadi garapan Nazhir itu selalu berkait dengan biaya. Modal inilah yang menjadi kendala utama dalam mengembanghkan harta wakaf. Untuk menghimpun modal finasial ini diperlukan modal yang kelima, yaitu modal jaringan.
4.   Modal sosial (dukungan masyarakat), karena Nazhir kalau tidak dipercaya masyarakat tidak akan bisa berjalan. Apalagi masyarakat-masyarakat yang punya kaitan fungisonal dengan Nazhir. Dalam hal ini, trust adalah modal yang harus dimiliki Nazhir. Untuk memperoleh kepercayaan dari masyarakat nazhir perlu beberapa modal, seperti; Jujur, Profsional, Cerdas, dan dapat menjadi percontohan (qudwah hasanah).
5.   Modal jaringan (networking) atau sinergi antara lembaga-lembaga lain. Ini perlu dilakukan sebab Nazhir tidak bisa berjalan kalau tidak ada jaringan-jaringan kerjasama yang mendukung
Lima modal pengembangan investasi wakaf ini akan terpenuhi tiga pokok prinsip pengelolaan wakaf yaitu  Human skill berkenaan dengan keahlian Nazhir dalam bidanga tertentu yang berkenaan dengan amanah untuk mengembangkan harta wakaf. Secara personal Nazhir haruslah orang-orang yang mempeunyai reputasi dan kredibilitas moral yang baik, yaitu bersifat Jujur, adil dan  amanah. Pada tataran kompetensi keilmuan, seorang nazhir harus menguasai ilmu-ilmu syari’ah, juga mesti menguasai materi-materi fikih muamalah, khusunya yang behubungan dengan wakaf, Selanjutnya, pemahaman terhadap ilmu ekonomi, seperti keuangan, manajeman, akutansi, dan ilmu ekonomi islam adalah suatu keharusan yang tidak bisa tidak harus dimiliki oleh Nazhir. Karena dengan pemahaman  yang baik terhadap ilmu-ilmu tersebut seorang Nazhir mampu merealisasikan maksud dan tujuan dari wakaf produktif.
Human technical berkenaan dengan kemampuan untuk mengelola harta wakaf. Yaitu pengelolaan dengan prinsip keterbukaan (transparansi). ialah Nazhir mesti membeberkan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan. Prinsip Akuntabilitas. ialah harus menetapkan tanggung jawab yang jelas dari setiap komponen organisasi selaras dengan visi, misi, sasaran usaha, dan strategi lembaga. Prinsip tanggung jawab (Responsibility). Ialah Nazhir harus memegang prinsip manajerial yang transaparan dan responsif. Prinsip tersebut harus dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tetap terjaga kelangsungan usahanya. Prinsip independensi. Ialah Nazhir harus mampu menghindari terjadinya dominasi yang tidak wajar oleh stakeholders. Nazhir tidak boleh terpengaruh oleh kepentingan sepihak. Ia harus bisa menghindari segala bentuk benturan kepentingan (conflict of interest).
Human Relation adalah kemampuan Nazhir dalam membangun jaringan untuk kepentingan pengelolaan dan pengembangan wakaf. Pengembangan jaringan menjadi sesuatu yang asasi dalam mencapai tujuan produktif wakaf. Sebab tanpa jaring prinsip permintaan dan penyaluran (suplay and demand) tidak dapat berjalan dengan stabil. Jaringan dapat dibangun melalui kerja sama dengan pihak ketiga. Kerajasama dapat juga diberbentuk kemitraan yang dibangun atas dasar saling menguntungkan, seperti  investasi, membuka badan usaha, menggalang swadaya umat dan cara lainnya yang dapat membangun jaringan pengembangan wakaf.

           



[1] Wakil Sekretaris Badan Wakaf Indonesia
[2]  Imam Nawawi, Tahrir al-Fazh al-Tanbih, Damaskus: Darul Qalam, h.464
[3]  Unadang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
[4] KMA RI No 92 Tentang Penetapan PT. BNI (Persero) Tbk. Divisi Usaha Syariah sebagai LKS P
    KMA RI No 93 Tentang Penetapan PT. BMI Tbk. Divisi Usaha Syariah sebagai LKS PWU
    KMA RI No 94 Tentang Penetapan PT. DKI Jakarta Syariah sebagai LKS PWU
    KMA RI No 95 Tentang Penetapan PT. BSM sebagai LKS PWU
   KMA RI No 96 Tentang Penetapan PT. BMSI sebagai LKS PWU
[5]Peraturan Badan Wakaf Indonesia nomor 01 tahun 2009 tentang pedoman pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf bergerak berupa uang Pasal 3 ayat (2) Wakif yang menyetorkan Wakaf Uang paling kurang Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) akan memperoleh Sertikat Wakaf Uang

[6] Mannan, Sertifikast Wakaf Tunai , Sebuah Inovasi Instrumen Keunagna Islam, (Jakarta :CIBER dan PKTTI-UI,2001), h.32
[7] Mannan, Lesson of Experience of Social Investment Bank in Family  Empowerment Micro-credit for Poverty Alleviation : A Paradigme Shift in Micvro-Finance
[8] Data Badan Pusat Statistik 2010
[9]  Mustafa Edwin Nasution, Wakaf  Tunai Dan Sektor Volunteer, dalam buku, Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam, ed. Mustafa Edwin Nasution, Ph.D dan Dr. Uswatun Hasanah (2006), cet. II,  Jakarta: PSTTI-UI, h.  43-44
[10] Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf  Produktif, (Jakarta, Khalifa, 2005), h.199

1 komentar: