SD Negeri 4 Purwokerto Lor

SD Negeri 4 Purwokerto Lor
Pemberian Sodaqoh Menjelang Idul Fitri 1432 H

Rabu, 20 Juli 2011

Di tengah problem sosial masyarakat Indonesia akan tuntutan kesejahteraan ekonomi akhir-akhir ini, keberadan lembaga wakaf menjadi sangat strategis. Disamping tentunya sebagai salah satu aspek ajaran islam yang berdimensi spiritual, wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi (dimensi sosial). Karena itu, pendefinisian ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih relevan dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan menjadi sangat penting.
Oleh:
M. ALVI SYAHRIN
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SRIWIJAYA
Idealika Wakaf

Terminologi Wakaf
Kata “Wakaf” atau “Wacf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa”. Asal kata “waqafa” berarti menahan atau berhenti atau diam ditempat atau tetap berdiri. Kata “waqafa-yaqituwaqfan” sama artinya dengan “habasa-yahbisu tahbisan”. Kata al- Waqf dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian, antara lain menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindahmilikkan (Fiqh Wakaf, 2006: 1). Dalam peristilahan syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan pemilikan asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum (Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, 2008: 1).
Lembaga Perwakafan: Antara Dilematika Wakaf Produktif dan Wakaf Tidak Produktif
Problematika lembaga perwakafan mulai tejadi ketika sejak dan setelah datangnya Islam, dimana sebagian besar masyarakat Indonesia melaksanakan wakaf berdasarkan paham keagamaan yang dianut, yaitu paham syafi’iyyah dan adat kebiasaan setempat. Sebelum adanya UU No. 5 TAhun 1960 tentang Peraturan Dasar Agraria dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, masyarakat Islam Indonesia masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu, kebiasaan memandang wakaf sebagai amal shaleh yang mempunyai nilai mulia di hadirat Tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat tanpa seizin Allah (Ahmad Djuanidi dan Thobieb Al- Asyar, 2008: 47).
Paham masyarakat Indonesia tersebut terlihat sangat lugu karena tingginya sikap jujur dan saling percaya antara satu dengan yang lain di masa-masa awal. Praktik pelaksanaan wakaf semacam ini, pada paruh perjalanannya harus diakui memunculkan persoalan mengenai validitas legal tentang harta wakaf yang berujung pada timbulnya persengketaan-persengketaan karena tiadanya bukti-buti yang mampu menunjukan bahwa benda-benda bersangkutan telah diwakafkan.Keberadaan perwakafan tanah waktu itu dapat diteliti berdasarkan buktibukti catatan di Kantor Urusan Agama (KUA) di kabupaten dan kecamatan, bukti arkeologi, Candra Sengkala, piagam perwakafan, dan cerita sejarah tertulis maupun lisan.
Selain tradisi dan tingginya kepercayaan kepada penerima amanah dalam melakukan wakaf, umat islam Indonesia lebih banyak mengambil pendapat dari golongan Syafi’iyyah sebagaimana mereka mengikuti mahdzabnya, seperti tentang: ikrar wakaf, harta yang boleh diwakafkan, kedudukan harta setelah diwakakan, harta wakaf ditujukan kepada siapa dan boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf (Ahmad Djuanidi dan Thobieb Al- Asyar, 2008: 48). Hal inilah yang kemudian menimbulkan permasalahan yang mungkin saja dapat menyentuh kesensitifan hukum agama atas hukum negara.

Beberapa Hambatan Serius
Berdasarkan uraian diatas, maka sejatinya pengelolaan wakaf di Indonesia belumlah dapat disimpulkan dalam sebuah kata yang benama “MAKSIMAL”. Oleh karena itu, untuk lebih memahami persoalan tersebut, berikut akan diuraikan beberapa hambatanhambatan dalam pemberdayaan harta wakaf di Indonesia. Peraturan perundang-undangan tentang wakaf di Indonesia menjadi persoalan yang cukup lama belum terselesaikan secara baik. Peraturan kelembagaan dan pengelolaan wakaf selama ini masih pada level di bawah UU, yaitu Peraturan Pemerintah, Perturan Mentreri Agama, Peraturan Dirjen Bimas Islam Depag RI dan beberapa aturan lain serta sedikit disinggung dalam UU No. 5 TAhun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Hingga sampai akhir Tahun 2004 (27 Tahun) dengan lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Sehingga kemauan yang kuat dari umat Islam untuk memaksimalkan peran wakaf mengalami kendala-kendala formil. Tidak seperti kelembagaan di bidang zakat yang sudah diatur dalam UU No. 38Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Kep. Menteri Agama RI no. 581 Tahun 1999. Sehingga kelembagaan wakaf dan pengelolaan benda-benda wakaf masih jauh dari memuaskan karena masih diatur oleh beberapa peraturan yang belum integral dan lengkap. Paling tidak, sebelum lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf terdapat kendalakendala formil yang sangat memberikan warna bagi pengelolaan dan penegembangan wakaf. Ada beberapa alasan dimana kendala aspek formil tersebut menjadi hambatan pemberdayaan harta wakaf secara maksimal, yaitu:
1. Masih belum terintegrasikannya peraturan teknis pengelolaan wakaf. Jika suatu persoalaan yang cukup strategis seperti lembaga wakaf tidak diatur secara intergral dan lengkap dalam pengelolaannnya, maka lembaga tersebut sulit diharapkan maju dan berkembang secara baik. Pengintergrasian peraturan dan penambahan klausul penting secara lengkap dalam suatu undang-undang sangat mendesak dilakukan agar wakaf dapat tertangani secara terpadu dan maksimal. Seperti kita ketahui bahwa di negeri muslim lainnya seperti Mesir telah ada Qanun No. 46 Tahun 1946 yang mengatur seluruh potensi dan pengelolaan wakaf secara umum dan terus dikembangkan sesuai degna situasi dan kondisi dengan tetap berdsarkan Syariat Islam. Sehingga wakaf di Mesir berkembang secara dinamis dan memberikan dampak sosial ekonomi secara nyata keapda masyarakat banyak.
2. Karena masih ada kelemahan pengaturan hukumnya, persoalan hukum wakaf belum memberikan kepastian jaminan dan perlindungan rasa aman bagi wakaf, nazhir, dan mauquf’alaihi (penerima wakaf), baik perseorangan, kelompok orang, organisasi/badan hukum. Sehingga sebelum UU No. 41 Tahun 2004, wakaf selama ini belum dapat dijadikan instrument untuk mengembangkan rasa tanggung jawab bagi pihak yang mendapat kepercayaan mengelola wakaf. Belum adanya ketegasan yang utuh dalam memberikan sanksi-sanksi bagi pihak yang tidak menjalankan amanah perwakafan membuka peluang terjadinya penyimpangan yang cukup lebar dalam pengelolaan dan/atau pengabaian tugas-tugas kenazhiran. Sehingga ketika ditemukan penyelewengan yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok orang maupun badan hukum nazhir sulit dapat diselesaikan karena belum adanya koridor publik dalam advokasi persengketaan atau penyelesaiaan penyelewengan wakaf. Penyelewengan yang dilakukan oleh para nazhir nakal misalnya, dalam sejarahnya belum ada yang diteruskan kepada penyelesaian pidana, karena peraturan perundadang-undangan yang ada belum mampu memberikan sanksi pidana yang tegas dan konkrit. Hal ini banyak terjadi pada harta wakaf yang dikelola oleh perseorangan, seperti penggunaan tanah untuk kepentingan pribadi, golongan, bahkan diwariskan kepada keturunannya, sementara bukti perwakafan sulit ditemukan atau bahkan tidak ada, dan lain-lain.
3. Sebelum UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf hanya mengatur pada lingkup perwakafan yang sangat terbatas, misalnya hanya pada wakaf tanah hak milik seperti UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, PP No. 28 Tahun 1977. Pengaturan perwakafan yang menyangkut dana cash (cash waqf), hak kepemilikan intelektual dan surat-surat berharga lainnya belum tersentuh, sedangkan di era seperti sekarang ini dimana uang dan suratsurat berharga lainnya menjadi variable ekonomi yang cukup penting. Sehingga pengelolaan wakaf ini belum dapat dilaksanakan secara optimal. Peraturan perundang-undangan tentang wakaf selama ini seperti PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Hak Milik, sedikit disinggung dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) ternyata belum memberikan dampak perbaikan sosial yang berarti bagi kesejahteraan ekonomi masyarakat. Karena memang pengelolaan dan pengembangan wakaf masih berkisar pada perwakafan tanah dan belum menyentuh aspek pemberdayaan ekonomi umat yang melibatkan banyak pihak. Sehingga perwakafan di Indonesia cukup sulit untuk dikembangkan karena kendala formil yang belum mengatur tentang harta benda wakaf bergerak yang mempunyai peran sangat sentral dalam pengembangan ekonomi makrao. Apalagi diperparah oleh kebanyakan nazhir wakaf yang kurang atau tidak professional dalam pengelolaan wakaf. Selain itu juga, bila kita lihat dari aspek materiil maka hambatan yang dihadapi dalam pemberdayaan harta wakaf, antara lain: (i) paham umat islam tentang wakaf yang masih sangat rendah dan konservatif, (ii) banyak tanah wakaf yang tidak strategis, (iii) adanya pro kontra mengenai pengalihan wakaf untuk tujuan produktif, (iv) banyaknya tanah wakaf yang belum bersertifikat, dan (v) nazhir masih tradisionalkonservatif (Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, 2006: 59-78).
Disamping kelemahan formil dan materiil sebagaimana diatas, political will dari pihak pemerintah, khususnya pemerintah daerah bersama DPRD kurang memiliki “greget” terhadap pemberdayaan wakaf secaera produktif melalui perda yang mendukung dalam pemberdayaan wakaf. Selain masalah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberdayaan wakaf, aspek anggaran juga kurang mendapat perhatian untuk mengadakan proyekproyek percontohan. Kita dapat memastikan, belum ada satu pemerintah daerah pun yang sudah dengan sadar memberikan ruang yang pantas untuk menganggarkan terhadap pemberdayaan wakaf secara produktif. Apalagi selama ini wakaf, termasuk pemberdayaannya “diselipkan” dalam penganggaran pembangunan dan peningkatan kehidupan beragama. Padahal kita juga tahu bahwa masalah tersebut sudah sedemikian banyak aspeknya, sehingga masalah wakaf nyaris tak tersentuh.Selain masalah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberdayaan wakaf, aspek anggaran juga kurang mendapat perhatian untuk mengadakan proyekproyek percontohan. Kita dapat memastikan, belum ada satu pemerintah daerah pun yang sudah dengan sadar memberikan ruang yang pantas untuk menganggarkan terhadap pemberdayaan wakaf secara produktif. Apalagi selama ini wakaf, termasuk pemberdayaannya “diselipkan” dalam penganggaran pembangunan dan peningkatan kehidupan beragama. Padahal kita juga tahu bahwa masalah tersebut sudah sedemikian banyak aspeknya, sehingga masalah wakaf nyaris tak tersentuh. (Alvi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar